Ekspor Temulawak Tembus 42 Ton dari DSA Ponorogo

Gudang Solar Dum milik DSA Ponorogo untuk pengeringan temulawak.
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Ponorogo, VIVA Jatim – Setelah sukses dengan kunyit, Desa Sejahtera Astra (DSA) Ponorogo tak tinggal diam. Saat ini juga merambah komoditas temulawak yang menjadi tanaman primadona, lantaran sudah bisa ekspor ke Pakistan sebanyak 42 ton sekali musim.

Salah satu fasilitator DSA Ponorogo, Slamet Riyanto menerangkan jika dahulu temulawak tidak pernah ada yang memandang, hanya sebatas ditanam seadanya. Namun, saat ini temulawak sudah bisa masuk pasar ekspor ke Pakistan.

"Alhamdulillah kita bisa berhasil menembus pasar langsung Pakistan, ini baru temulawak ini sudah kita siapkan 2 kontainer kemungkinan kalau tidak minggu depan kita pengiriman 2 kontainer ke Pakistan dengan total ada 42 ton temulawak," papar Slamet Riyanto kepada VIVA Jatim, Selasa, 4 November 2024.

Dirinya menerangkan bahwa jumlah tersebut merupakan akumulasi dari Ponorogo dan beberapa wilayah sedikit dari Pacitan. Sebab sebelumnya temulawak bukan primadona tetapi sekarang muncul menjadi primadona baru menembus pasar internasional.

Pria yang juga pendamping Desa Sejahtera Astra (DSA) Pacitan dan Ponorogo ini mengaku meskipun harga tersebut belum sesuai keinginan diangka 14 sampai 15 ribu, namun masih diangka Rp 10 ribu.

Tetapi paling tidak dari yang biasanya tidak ternilai yang hanya sekitar 6 sampai 7 ribu temulawak kering, saat ini mengangkat dari petani bisa dibeli Rp 8 ribu sampai Rp 9 ribu.

"Itu bisa menambah value dari temulawak tersebut. Target saya di Rp 15 ribu kalau petani Rp 11 sampai Rp 12 ribu itu cantik banget. Kalau Pakistan temulawak untuk bahan biasanya untuk masyala bahan baku tambahan makanan. kalau biasanya Pakistan itu dia untuk makanan untuk herbal,"

Menurut pengalamannya, ekspor Pakistan biasanya kalau sudah cocok barang yang terbeli, akan selalu konsisten berlangganan. Sebab ia juga pernah ekspor untuk kelapa ke Pakistan dan kopra putih.

"Mereka kontinyu asal kita bisa menjaga kualitas barangnya," akuinya.

Untuk suplai temulawak, ia menerangkan satu kawasan Ponorogo sampai ke Pacitan. Sehingga Desa di Pacitan juga mengirim ke Ponorogo. Karena pertimbangan untuk Trenggalek dan Pacitan panas tidak sebagus Ponorogo.

Slamet menambahkan pengeringan temulawak memang terpusat di Ponorogo selain panas, juga proses menggunakan mesin-mesin yang sudah lengkap. Termasuk ayak dan sebagainya, sehingga memungkinkan untuk kontainer bisa mengangkut barang tersebut.

"Kalau Trenggalek dan Pacitan susah. Alamatnya berada di desa yang pertama di Desa Broto gudang pusatnya," jelasnya.

Dirinya menerangkan temulawak melalui proses untuk finishing, packing harus di satu lokasi karena tidak bisa sembarang. Sebab pengumpulan dari petani tidak mungkin sama dari tingkat kadar air.

"Ada yang 18%, 20% ada yang 22% karena tingkat pengeringan dari masing-masing petani itu beragam. Yang disana itu adalah gudang untuk pemrosesan akhir untuk menyamaratakan mutu, standar kualitas," bebernya

Slamet menambahkan jika standar tingkat pengeringan diangka 12 sampai 14 persen. Jumlah tersebut mencapai standar yang diinginkan buyer.

Potensi yang menarik ini, DSA Ponorogo menangkap dengan mengambil langkah strategis yaitu membagikan pembibitan temulawak ke petani. Langkah ini untuk dikembangkan ke petani supaya minimal menanam terlebih dahulu.

"Nanti perkara dirawat atau tidak Nanti tergantung mereka. Termasuk kalau perawatan juga kita bantu dengan pupuk dan sebagainya itu ditanam di berbagai desa binaan kita," urainya.