Cerita Gus Dur Patah Lengan gegara Keenakan Tidur di Atas Pohon

Potret Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sumber :
  • Istimewa/Twitter Viva.co.id

Surabaya, VIVA Jatim – Almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai tokoh besar di Indonesia yang bernas, berani, dan nyentrik. Pemikirannya melampaui masa dan kondisi saat ide dan gagasan dilontarkan, sehingga kerap memancing reaksi pro dan kontra dari tokoh lain dan masyarakat karena dinilai keluar dari keumuman saat itu. Tapi pemikirannya banyak terbukti di kemudian tahun. 

Karena itu, di luar ketokohannya yang masyhur, dalam wajah lain Gus Dur kerap terkesan usil, tengil, dan terkadang ceroboh. Kesan tengil dan ceroboh Gus Dur sebetulnya sudah terlihat sejak kecil. Gara-gara tengil dan kecerobohan pula ulama kesohor putra sulung dari Menteri Agama RI era Presiden Soekarno, KH A Wahid Hasyim, itu pernah mengalami patah lengan dua kali.

Soal itu diceritakan Greg Barton dalam bukunya, Biografi Gus Dur. Greg Barton adalah seorang cendekiawan dan pengajar di Deakin University Geelong, Victoria, Australia, yang menemani dan meneliti Gus Dur secara intens sejak jumpa pertamanya dengan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, itu pada tahun 1980-an.

Sebagaimana umumnya bocah-bocah saat itu, tulis Barton, Gus Dur kecil gemar memanjat pohon. Satu waktu, Gus Dur mengambil makanan kesukaannya lalu memanjat pohon besar di dekat rumahnya. Di atas pohon ia kemudian menikmati makanan tersebut sambil duduk di atas dahan dengan santai. 

Saking santainya, Gus Dur sampai tertidur di atas pohon. Alhasil, tubuhnya terjatuh dan ia mengalami patah tulang di bagian lengan. Dokter yang menangani sempat berpikir Gus Dur akan kehilangan tangannya. Namun berkat kehati-hatian dan tindakan cekatan, tulang lengan Gus Dur bisa tersambung kembali.

“Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar,” tulis Barton.

Sebagaimana anak-anak masa itu, Gus Dur juga kerap menerima sanksi dari ayahnya akibat tingkah tengil dan nakalnya itu. Gus Dur pernah diikat di tiang bendera karena lelucon dan tingkahnya yang dinilai kurang sopan.

Tapi pengalaman-pengalaman itu tak membuat Gus Dur kecil kapok. Ia tetap berani mengambil risiko saat bertingkah sebagaimana bocah-bocah seusianya kala itu. Ia tak mudah ditekan keadaan. 

Sikap-sikap masa kecil Gus Dur seperti itu rupanya terus tumbuh dan mewarnai sepak terjangnya yang bernas saat ia memimpin ormas terbesar di Indonesia, NU, menjadi Presiden RI keempat, dan menangani urusan-urusan masyarakat lainnya. 

Sebagai ulama dan pemimpin bangsa, Gus Dur pun tak lepas-lepas dari sorotan karena caranya melontarkan dan mempraktikkan gagasan cenderung tengil, berani, dan terkadang terkesan kurang hati-hati. Ia cuek dengan protes ‘rival-rival-nya’ senyampang yang ia perjuangkan adalah kebenaran dan kemanusiaan.

Untuk diingat, Gus Dur lahir dari pasangan KH A Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kiai Wahid Hasyim adalah putra dari pendiri NU yang juga pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Hadrastussyaikh Hasyim Asy’ari. Sedangkan Nyai Solichah putri dari salah satu tokoh kunci berdirinya NU yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, KH Bisri Syansuri.

Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Semula banyak mengira ia dilahirkan pada 4 Agustus. Namun, tulis Barton, tanggal 4 dimaksud ternyata di bulan Sya’ban dalam kalender Islam. Bukan Agustus dalam kalender Masehi. Oleh ayahnya, Gus Dur diberi nama Abdurrahman Ad-Dakhil yang berarti Abdurrahman Sang Penakluk. 

Nama tersebut merujuk pada nama pejuang Islam masa Dinasti Umayyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dan menancapkan serta mengembangkan ajaran dan peradaban Islam di Eropa selama berabad-abad. Namun, Abdurrahman Ad-Dakhil dari Jombang kemudian lebih dikenal dengan nama Abdurrahman Wahid. Gus Dur lalu jadi panggilan populernya.

Selain dari keluarga, pendidikan Gus Dur juga dijalani di pesantren dan sekolah formal. Dari sekolah modern dan lingkungan yang melingkari aktivitas ayahnya sebagai politikus, ia kemudian mengenal dunia luar pesantren. Wawasannya kian terbuka luas ketika dia berkelana menimba ilmu di Mesir dan Bagdad, Irak.

Di NU, Gus Dur pernah memimpin ormas terbesar di Indonesia itu selama lebih dari dua periode. Di masanya NU dilirik banyak pihak sebagai organisasi yang menjadi tumpuan untuk semua lini kehidupan di negeri ini. Gus Dur juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim kesohor. Gagasan-gagasannya selalu dinanti kendati kerap memancing pro dan kontra.

Di dunia politik, karir puncak Gus Dur ialah ketika terpilih dan dilantik sebagai Presiden RI Keempat pada tahun 1999. Saat itu, ia berupaya mengejawantahkan gagasan-gagasannya tentang keadilan, kemakmuran, kemanusiaan, dan hubungan Indonesia dengan dunia luar, tentu saja dengan warna-warni sikap dan caranya yang eksentrik.

Karena dinamika politik yang begitu cepat dan keras saat itu, Gus Dur hanya mampu mempertahankan kursi kepresidenannya selama dua tahun. Beberapa tahun kemudian, kesehatan Gus Dur memburuk dan ia wafat pada 30 Desember 2009. Ia dimakamkan di tempat pemakaman keluarga di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 

Sebagaimana ayahnya saat meninggal, sepanjang perjalanan menuju Jombang, warga berdiri dan berkerumun di pinggir jalan memberikan penghormatan terakhir saat jenazahnya dibawa ke Jombang. Upacara pemakaman Gus Dur dihadiri ribuan orang dan tokoh dari berbagai kalangan.

Kini, setiap hari makam Gus Dur diziarahi banyak orang. Mereka bisa melihat di nisan makamnya yang tertulis kalimat: Here rest a humanist. Di sini beristirahat pejuang kemanusiaan.

Untuk Gus Dur, Alfaatihah.