4 Hadits Rasulullah tentang Tanda-tanda Ibadah Haji Mabrur
- Istimewa
Jatim – Menjadi haji mabrur adalah dambaan semua umat Islam yang tengah menjalankan rukun Islam kelima di Tanah Suci Mekkah, yakni ibadah Haji. Capaian ini menjadi salah satu penentu kesempurnaan ibadah seseorang. Tak ayal jika berbagai upaya mencapai hal itu tidak henti-hentinya dilakukan.
Haji mabrur sendiri merupakan manasik yang tidak mengandung maksiat di dalamnya, baik prilaku, ucapan hingga makan-makanan yang dikonsumsi. Untuk itu berikut ini 4 hadits Rasulullah SAW tentang tanda-tanda haji seseorang mabrur, dilansir dari laman NU Online, Rabu, 7 Juni 2023.
قوله المبرور قيل هو الذي لا يقع فيه معصية وقد جاء من حديث جابر مرفوعا إِنَ بِرَّ الحَجِّ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الكَلَامِ وعِنْدَ بَعْضِهِمْ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Artinya, “Mabrur adalah ibadah haji yang tidak terdapat maksiat di dalamnya. Sebuah hadits marfu’ dari sahabat Jabir ra, ‘Sungguh, haji mabrur itu memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik.’ Menurut sebagian, ‘Memberikan makan kepada orang lain dan menebarkan salam,’” (Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz II, halaman 69).
Kemudian hadits kedua riwayat Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. Disebutkan dalam hadits tersebut tentang ganjaran bagi jemaah haji yang menjauhi larangan-larangan haji baik yang berat maupun yang ringan. Berikut bunyinya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ رواه البخاري ومسلم والنسائي وابن ماجه والترمذي إلا أنه قال غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, ia bersabda, ‘Siapa saja yang berhaji dan tidak berbuat rafats dan tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali suci seperti hari dilahirkan oleh ibunya,’ (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Ibnu Majah) dan At-Tirmidzi tetapi pada riwayatnya Rasulullah bersabda, ‘Maka dosanya yang terdahulu akan diampuni.’”
Hadits ketiga Rasulullah SAW menjelaskan tentang ganjaran surga bagi jemaah haji mabrur sebagai balasannya. Dalam hadits berikut ini Rasulullah juga menyebutkan beberapa tanda-tanda haji mabrur.
عَنْ جَابِرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ، قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلَامِ وفي رواية لأحمد والبيهقي إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Artinya, “Dari sahabat Jabir bin Abdillah ra, dari Rasulullah saw, ia bersabda, ‘Haji mabrur tiada balasan lain kecuali surga.’ Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa (tanda) mabrurnya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik,’ (HR Ahmad, At-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim). Pada riwayat Ahmad dan Baihaqi, ‘Memberikan makan kepada orang lain dan menebarkan salam,’” (Al-Mundziri, 1998 M/1418 H: II/72).
Dalam kitab At-Tamhid li Ma fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asanid, Abu Amr Al-Qurthubi mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak mengandung riya, sum’ah, rafats, dan fasik; serta dibiayai dengan harta yang halal.
Makan rafats yakni kalimat kotor di hadapan perempuan atau kalimat keji yang berkaitan dengan ketertarikan terhadap lawan jenis. Sedangkan fisik adalah hubungan badan suami istri.
Al-Munawi At-Taysir bi Syarhil Jami’is Shaghir menyebutkan, haji mabrur adalah ibadah ketaatan yang diterima oleh Allah. Haji mabrur tidak mengandung dosa dalam pelaksanaannya. Sedangkan sebagian ulama mengartikan haji mabrur sebagai pelaksanaan manasik yang terbebas dari jinayah, kejahatan berat yang mengandung dosa besar.
قَالَ وَالْأَصَحّ الْأَشْهَر أَنَّ الْحَجّ الْمَبْرُور الَّذِي لَا يُخَالِطهُ إِثْم مَأْخُوذ مِنْ الْبِرّ وَهُوَ الطَّاعَة وَقِيلَ هُوَ الْمَقْبُول الْمُقَابَل بِالْبِرِّ وَهُوَ الثَّوَاب ، وَمِنْ عَلَامَة الْقَبُول أَنْ يَرْجِع خَيْرًا مِمَّا كَانَ وَلَا يُعَاوِد الْمَعَاصِي وَقِيلَ هُوَ الَّذِي لَا رِيَاء فِيهِ وَقِيلَ : هُوَ الَّذِي لَا يَتَعَقَّبهُ مَعْصِيَة وَهُمَا دَاخِلَانِ فِيمَا قَبْلهمَا قَالَ الْقُرْطُبِيّ : الْأَقْوَال الَّتِي ذُكِرَتْ فِي تَفْسِيره مُتَقَارِبَة وَأَنَّهُ الْحَجّ الَّذِي وُفَّتْ أَحْكَامه وَوَقَعَ مَوْقِعًا لِمَا طُلِبَ مِنْ الْمُكَلَّف عَلَى وَجْه الْأَكْمَل
Artinya, “Qaul lebih sahih dan masyhur mengatakan bahwa haji mabrur itu manasik yang tidak mengandung dosa. Mabrur berasal dari kata ‘birr’ yaitu ketaatan. Ada yang mengartikan diterima yang dihadapkan pada ketaatan, yaitu pahala. Tanda haji diterima ialah seseorang pulang ke Tanah Airnya lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi maksiat yang pernah dilakukan. ada ulama yang berkata, haji mabrur tidak mengandung riya. Ada juga yang berpendapat, haji mabrur ialah manasik yang disusul dengan maksiat. Sedangkan keduanya (riya dan maksiat) dapat masuk pada ke dalamnya. Al-Qurthubi mengatakan, berbagai pendapat perihal haji mabrur disebutkan di tafsirnya dengan pengertian yang berdekatan, yaitu haji yang memenuhi ketentuan syarat, rukun, dan wajibnya dan terlaksana sesuai tuntutan terhadap mukallaf dengan jalan paling sempurna,” (As-Suyuthi, Sunan An-Nasai bi Syarhil Hafiz Jalaluddin As-Suyuthi, [Sematang, Thaha Putra: 1930 M/1348 H], juz V, halaman 112).