Kata Pakar soal Usulan Masa Berlaku SIM Seumur Hidup

Ilustrasi SIM.
Sumber :
  • Viva.co.id

Surabaya, VIVA Jatim – Wacana perubahan masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) dari lima tahun menjadi seumur hidup kembali mencuat saat DPR RI menggelar dengar pendapat atau hearing dengan Korlantas Polri beberapa waktu lalu. Usulan itu memantik perbedaan pendapat. Para pakar pun angkat bicara.

Menurut pakar transportasi dari Universitas Negeri Surabaya, Dadang Supriyanto, SIM pada dasarnya merupakan sertifikasi dari pengemudi, sehingga untuk mendapatkannya harus melalui prosedur dan tahapan yang berlaku. Itu sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 2004.

“Karena seorang pengemudi membawa orang, penumpang atau barang, sehingga seorang pengemudi harus dibekali dengan uji kompetensi,” kata Dadang pada Kamis, 3 Agustus 2023.

Karena itu, seseorang tak bisa serta-merta bisa menerima SIM. Sebelum diterbitkan sertifikasi atau SIM, kata Dadang, ada uji tes secara fisik dan pengetahuan tentang rambu dan aturan. Hal ini dikarenakan di dalam fundamental angkutan jalan ada empat pilar, yaitu manusia, sarana, prasarana, dan regulasi.

Atas alasan itu pula, Dadang berpendapat kemampuan seorang pengemudi harus dievaluasi secara berkala, tentu saja dengan menjadikan empat pilar tersebut sebagai ukuran. Dengan demikan, bisa diketahui kemampuan pengemudi apakah naik atau menurun. 

Indikasi kemampuan itu bisa di lihat dari prosentase pelanggaran yang dilakukan, seperti melanggar batas kecepatan, marka, rambu-rambu yang dilakukan oleh pengemudi. “Dengan SIM yang mempunyai batasan waktu, diharapkan mekanisme evaluasi, pengawasan, dan edukasi bisa berkesinambungan,” ujar Dadang.

Nah, evaluasi dan pengawasan tentu saja akan sulit diterapkan apabila masa berlaku SIM seumur hidup. “Jika SIM berlaku seumur hidup, dikhwatirkan berkurangnya faktor pengawasan. Padahal si pemilik sertifikasi atau SIM ini secara subyektif juga akan mengalami dinamisasi, misalkan bertambahnya usia, faktor kesehatan, dan lain lain,” ujar Dadang.

Terpisah, dosen Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Bagus Oktafian Abrianto, mengatakan, SIM pada hakikatnya adalah bagian dari izin yang merupakan produk dari tindakan pemerintah untuk mengatur masyarakat. Dalam mengeluarkan izin, pemerintah tidak serta-merta memberikan kepada pemohon, tetapi harus mememuhi kualifikasi tertentu. 

Untuk konteks SIM, Polri merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Penerbitan SIM harus disertai pengawasan. Karena harus diserta pengawasan, maka menurut Bagus masa berlaku SIM harus dibatasi. “Saya sepakat SIM ini harus ada jangka waktu,” ujarnya.

Alasannya, pertama, kondisi penerima atau pemilik SIM dinamis dari waktu ke waktu. Suatu waktu bisa sakit atau mengalami kondisi lainnya. “Pertanyaannya, apakah sama perlakuan orang yang sakit yang tidak bisa mengendarai sepeda motor dengan orang yang tidak sakit, ini, kan, hal yang berbeda,” tandas Bagus.

Kedua, lanjut dia, kesadaran berlalu lintas pemilik SIM dalam berkendara berpotensi berubah-ubah atau naik-turun. Bisa saja saat awal memiliki SIM, seseorang patuh terhadap aturan lalu lintas. Tapi di saat yang lain justru kerap melakukan pelanggaran.  “Apakah orang ini akan diberikan SIM selamanya? Menurut saya hal ini tidak etis dan tidak sesuai hukum yang  berlaku,” kata Bagus.