Kata Pakar Lintas Disiplin soal Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan
- Istimewa
Jatim – Tragedi Kanjuruhan masih jadi perhatian hingga sekarang. Salah satu topik yang disorot ialah terkait gas air mata yang dipakai petugas keamanan saat berupaya mengendalikan kekisruhan yang terjadi seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022.
Para pakar lintas disiplin juga menganalisa dan menyampaikan pendapat tentang tragedi tersebut. Di antaranya ahli kimia dari Universitas Airlangga Dwi Setyawan. Dia menjelaskan, gas air mata merupakan zat kimia biasa yang digunakan secara terbatas, mengandung senyawa 2 Clorobenzalmalononitrile (CS). Biasanya, CS difungsikan petugas pengendali kerusuhan.
Gas air mata, lanjut Dwi, bertekstur padat solid kristalik atau bubuk powder (serbuk) dan bersifat iritasi. "Secara garis besar berkesimpulan bahwa bahan untuk gas air mata, sebenarnya yang memang sifatnya toxic tapi memang bahannya diformulasikan untuk kebutuhan khusus dalam batas aman," ujarnya pada Minggu, 27 November 2022.
Terpisah, pakar kimia lainnya, Fahimah Martak, menjelaskan bahwa komponen gas air mata merupakan senyawa yang di dalamnya sebetulnya bukan gas, tapi serbuk seperti merica halus. Dia menegaskan gas air matatidak menyebabkan kematian kalau hanya dihirup sedikit saja. “Beda dengan sianida karena diminum, kalau ini di hirup, jika kondisi tubuhnya fit, tidak apa-apa kalau menghirup sedikit saja,” ucapnya.
Baik Dwi maupun Fahima menyampaikan hal yang sama saat hadir dalam FGD bertema Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang di Kampus B Fakultas Hukum Unair Surabaya pada Jumat lalu. Selain ahli kimia, hadir pula di FGD itu pakar pidana, pakar psikologi, pakar HAM, dan ahli forensik.
Di forum itu, pakar hukum pidana Didik Endro Purwoleksono menyampaikan, berdasarkan laporan tim independen, dia menilai Tragedi Kanjuruhan bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Menurutnya, ciri khas pelanggaran HAM adalah sistematis. “Tetapi gas air mata bukan senjata tajam,” ujarnya.
Didik juga berpendapat bahwa dalam tragedi tersebut sulit ditemukan unsur pembunuhan berencana maupun pembunuhan biasa. Sebab, jika pembunuhan berencana, sudah tentu ada perencanaan sebelum peristia itu terjadi. “Dalam kasus ini tidak, tidak ada ceritanya polisi itu melakukan pembunuhan massal. Jadi, menurut saya seperti pelanggaran HAM pembunuhan berencana ini kita kesampingkan,” tandasnya.