Sejumlah Aktivis Perempuan Soroti Maraknya Kasus KDRT Berujung Maut di Sumenep
- Istimewa
Dalam hal ini, lanjut Odak, sapaan lekatnya, butuh kesehatan mental dalam pasangan. Artinya pasutri harus membuat komitmen agar komunikasi yang dibangun adalah komunikasi yang persuasif dan interaktif.
Dalam berkomunikasi tentunya bukan lantas selalu menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Tapi dia bisa duduk bersama dan ini juga tidak lepas dari fondasi keluarga maslahah yang bahagia dan membahagiakan.
"Salah satunya adalah mubadalah atau berkesalingan. Jadi saling menjaga saling menerima kekurangan, saling berkomunikasi satu sama lain itu adalah kunci menjaga kesehatan mental antar pasangan. Jika itu dilakukan, kasus KDRT yang viral seperti belakangan ini tidak akan terjadi," terangnya.
Pelemahan Posisi Korban
Lebih jauh, seorang aktivis perempuan yang juga pengamat sosial, Juwairiyah menilai, insiden KDRT berujung maut semakin ironis ketika muncul banyak berita di media sosial yang semakin melemahkan posisi korban.
"Hampir semua pemberitaan seolah menyuarakan hal yang sama, yaitu pelaku melakukan KDRT kepada korban karena menolak diajak hubungan badan oleh pelaku [suami]," ungkapnya.
Latar belakang yang mendasari perbuatan pelaku ini, menurutnya, melemahkan posisi korban seolah pantas diperlakukan demikian. Informasi yang berkembang juga menyebutkan bahwa pelaku sedang berada di bawah pengaruh guna-guna atau minuman keras sehingga tidak bisa mengontrol perilakunya.