Sejumlah Aktivis Perempuan Soroti Maraknya Kasus KDRT Berujung Maut di Sumenep
- Istimewa
Sumenep, VIVA Jatim – Maraknnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menjadi atensi banyak pihak. Sejumlah aktivis perempuan pun menaruh perhatian khusus atas ironi tersebut.
Diketahui sebelumnya, dalam dua bulan terakhir, September-Oktober 2024, ada tiga kasus KDRT yang terjadi. Hal demikian dinilai kontras dengan kultur masyarakat Sumenep yang dikenal santun dan berbudaya.
Pertama, kasus KDRT terjadi di Kecamatan Batuputih, seorang suami berinisial (R) tega menghabisi nyawa istrinya gegara urusan ranjang. Kemudian disusul kejadian yang sama di Kecamatan Batang-Batang, seorang istri (NS) menghembuskan nafas terakhirnya akibat tindakan suami yang tidak berkeprikemanusiaan (AR).
Belum juga tuntas kasus tersebut, muncul lagi kasus yang sama. Seorang suami (ME) yang dalam pengaruh narkoba tega membacok istrinya (SW) hingga tewas. Kejadian ini terjadi di Desa Gadding Kecamatan Manding, Sumenep.
Ironi kasus KDRT ini pun mendapat atensi dari Ketua PC Fatayat NU Sumenep, Ny Dina Kamilia Muafi. Ia mendesak agar pelaku yang telah tega berbuat kejahatan kepada istrinya ditindak dengan tegas.
“Kejahatan dalam bentuk KDRT tidak bisa dibiarkan. Ke depan, jangan sampai ada korban KDRT lagi dengan alasan apapun. Ada mulut yang dapat dipakai untuk mengatakan apapun sehingga tak perlu memakai tangan dan kaki main kasar dengan memukul dan menganiaya istri yang seharusnya dilindungi dengan penuh kasih sayang oleh seorang suami,” tegasnya.
Ketua PC Fatayat NU Sumenep juga menegaskan bahwa kasus KDRT yang menyebabkan korban jiwa ini tidak bisa diabaikan. Menurutnya, perempuan selalu menjadi pihak yang dipersalahkan dan dilemahkan dalam beberapa kasus KDRT maupun kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi.
”Masyarakat harus memiliki kesadaran dan melakukan penyadaran bersama-sama untuk menegakkan keadilan. Selain menghukum pelaku seberat-beratnya, harus ada upaya dari semua elemen masyarakat agar kasus ini tidak terus berulang,” tambahnya.
“Speak up atau bercerita pada orang yang tepat saat mengalami KDRT bukanlah mengumbar aib rumah tangga. Upaya perlindungan terkadang bisa didapatkan melalui jalan bercerita pada orang yang tepat.” terangnya.
Faktor Mendasar Penyebab KDRT
Ketua Forum Ulama Perempuan Madura, Raudlatun memandang ada tiga 3 faktor mendasar yang menyebabkan terjadinya KDRT. Pertama adalah hubungan yang dibangun dengan relasi kuasa.
"Jadi relasi yang dibangun dalam keluarga itu adalah relasi kuasa bukan relasi kemitraan," ungkapnya.
Yang kedua adalah budaya patriarki, dimana seakan-akan laki-laki itu adalah nomer satu dalam keluarga. Ketiga, adalah pemahaman-pemahaman atau penafsiran yang masih bias dan bahkan toko agama juga melanggengkan bahwa perempuan boleh dipukul dengan alasan untuk mendidik.
"Ini yang menjadi salah. Padahal, Rasulullah sangat tidak suka dengan suami yang kasar pada istrinya," ujarnya.
Dalam hal ini, lanjut Odak, sapaan lekatnya, butuh kesehatan mental dalam pasangan. Artinya pasutri harus membuat komitmen agar komunikasi yang dibangun adalah komunikasi yang persuasif dan interaktif.
Dalam berkomunikasi tentunya bukan lantas selalu menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Tapi dia bisa duduk bersama dan ini juga tidak lepas dari fondasi keluarga maslahah yang bahagia dan membahagiakan.
"Salah satunya adalah mubadalah atau berkesalingan. Jadi saling menjaga saling menerima kekurangan, saling berkomunikasi satu sama lain itu adalah kunci menjaga kesehatan mental antar pasangan. Jika itu dilakukan, kasus KDRT yang viral seperti belakangan ini tidak akan terjadi," terangnya.
Pelemahan Posisi Korban
Lebih jauh, seorang aktivis perempuan yang juga pengamat sosial, Juwairiyah menilai, insiden KDRT berujung maut semakin ironis ketika muncul banyak berita di media sosial yang semakin melemahkan posisi korban.
"Hampir semua pemberitaan seolah menyuarakan hal yang sama, yaitu pelaku melakukan KDRT kepada korban karena menolak diajak hubungan badan oleh pelaku [suami]," ungkapnya.
Latar belakang yang mendasari perbuatan pelaku ini, menurutnya, melemahkan posisi korban seolah pantas diperlakukan demikian. Informasi yang berkembang juga menyebutkan bahwa pelaku sedang berada di bawah pengaruh guna-guna atau minuman keras sehingga tidak bisa mengontrol perilakunya.
"Jelas bahwa berita-berita yang dirilis oleh beberapa media ini menguntungkan pihak pelaku. Dengan membangun opini yang hanya bersumber dari satu pihak dan melenceng dari fakta sesungguhnya terkait korban dan pelaku, maka posisi korban dilemahkan untuk meringankan beban hukuman pelaku," ujarnya.
Padahal, sebagian orang yang mengenal korban dan pelaku menyebutkan bahwa pelaku memang sering melakukan KDRT pada korban sebab pelaku kecanduan judi online dan memaksa korban untuk selalu berutang dan mencari uang untuk memodali kecanduan pelaku tersebut. Jika menolak, maka korban akan dipukul dan dianiaya secara fisik.
Untuk itu, ketegasan hukum dan upaya perlindungan oleh masyarakat, menurutnya, sangat perlu ditunjukkan dengan memahami bahwa kasus kekerasan adalah semata kekerasan, bukan hal lainnya. Tidak boleh sampai ada permakluman dengan alasan apapun terhadap pelaku.
”Sebab, alasan hanyalah alasan, bisa dicari dan dibentuk untuk meringankan pelaku. Sedangkan KDRT tetap harus kita pahami sebagai sebuah tindak kejahatan yang harus diganjar sesuai hukum yang berlaku,” tandasnya.