33 Persen Pemilih Muda di Jawa Timur Menolak Politik Dinasti
- Viva Jatim/Mokhamad Dofir
Surabaya, VIVA Jatim – Istilah dinasti politik mencuat belakangan setelah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka resmi mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Lalu seberapa jauh respon para pemilih muda menanggapi isu ini?
Ternyata, 33 persen anak muda di Jawa Timur tidak percaya kepada politikus yang terkait dengan politik dinasti. Sisanya, 26 persen justru percaya dan 41 persen menyatakan tidak peduli.
Hal tersebut berdasar hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah (PUSAD UM) Surabaya.
Survei dilakukan sejak tanggal 14 sampai 22 Oktober 2023 terhadap 1075 responden berusia 17 sampai 40 tahun tersebar merata di 38 Kabupaten Kota se-Jawa Timur. Kemudian masing-masing kabupaten kota diambil 4 sampai 5 kecamatan untuk dijadikan sample penelitian.
Sampel tiap kecamatan dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah pemilih di tiap kecamatan dan kelurahan yang dijadikan lokasi penelitian. Jajak pendapat ditempuh dengan wawancara melalui telepon.
Peneliti Utama Radius Setiyawan mengatakan, politik dinasti dalam konteks demokrasi menarik untuk menjadi pembahasan. Ia menjelaskan, Politik dinasti dipahami sebagai proses reorganisasi kekuasaan melalui perubahan model politik baru dengan pelembagaan kekuatan pemilik modal, yang memperlihatkan oligarki kekuasaan dan berpengaruh dalam struktur sosial dan negara dalam demokrasi Indonesia.
Menurutnya, dari hasil survei yang dirilis oleh PUSAD UM Surabaya menjadi hal penting mengingat demografi pemilih di Jawa Timur menjelang Pemilu 2024 didominasi pemilih produktif berusia 17-40 tahun atau kelompok pemilih generasi Z dan generasi millenial.
"Dari total 31.402.838 Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di Jawa Timur sebesar 16.001.790 merupakan pemilih muda. Dengan presentasi 51 persen dari total DPT di Jatim," katanya, Jumat 27 Oktober 2023.
Radius mengungkapkan ada tujuh alasan yang membuat anak muda Jatim menolak politik dinasti.
Pertama kata dia, 30,6 persen masyarakat tidak percaya karena menghambat proses kaderisasi kepemimpinan.
Kedua, 28 persen masyarakat tidak percaya karena kinerja calon pemimpin sebelumnya yang buruk dan tidak ada dampak terhadap pembangunan.
Dan yang ketiga 27 persen masyarakat tidak percaya karena menghambat fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Lalu keempat, 25,10 persen masyarakat tidak percaya karena kecenderungan diskriminatif terhadap minoritas politik.
Kelima 24 persen masyarakat tidak percaya karena kinerja pemimpin sebelumnya yang memiliki kedekatan dengan calon cenderung menyalahgunakan wewenang.
Keenam 23,10 persen masyarakat tidak percaya karena kecenderungan mengarah pada otoritarianisme.
Dan terakhir 20,50 persen masyarakat tidak percaya karena cenderung melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
"Perdebatan soal politik dinasti menurut saya menarik dan bagus bagi tumbuh kembang demokrasi. Karena perdebatan tersebut membuat orang mulia melihat secara serius. Tidak serta merta menolak tetapi tidak serta merta menerima. Mau dari mana asalnya dan silsilah keluarganya, nilai-nilai meritokrasi harus tetap menjadi pegangan," pungkasnya.