Trauma Berat Usai Diperkosa 3 Bocah SD, Ortu Siswi TK Mojokerto Minta Biaya Pengobatan Rp200 Juta
- Muhammad Lutfi Hermansyah/Viva Jatim
Jatim – Seorang bocah perempuan yang diperkosa bergilir oleh tiga teman sepermainannya mengalami trauma berat. Bahkan bocah yang masih duduk di bangku sekolah Taman Kanak-kanak (TK) itu enggan bersekolah karena malu.
Kini, bocah berusia 6 tahun di Mojokerto itu harus menjalani trauma healing oleh Tim Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (TP2PA) Kabupaten Mojokerto.
Sebelum kasus ini mencuat ke publik, antara orangtua korban dan tiga terduga pelaku sudah dimediasi oleh Pemerintah Desa. Namun hasil nihil, tidak ada kesepakatan damai atau diselesaikan secara kekeluargaan. Hingga akhirnya, pihak keluarga korban melaporkan ke kepolisian.
Kepala Dusun tempat mereka tinggal, berinisial S menceritakan, pihaknya mendapatkan laporan dari orangtua korban pada Senin, 9 Januari 2023 dini hari. Mendapatkan laporan tersebut, kemudian diteruskan ke Pemerintah Desa (Pemdes) setempat.
Selanjutnya, masing-masing ketiga orangtua para pelaku dipanggil ke Kantor Pemdes untuk dilakukan mediasi bersama orangtua korban pada hari itu juga sekitar pukul 11.00 WIB.
"Mereka kan belum tahu dari pihak orangtua pelaku. Dan akhirnya dikasih tahu lalu mengaku salah orangtuanya," katanya kepada Viva Jatim, Jum'at , 20 Januari 2023.
Selain orangtua korban dan para pelaku, dalam pertemuan itu juga dihadiri oleh anggota Polsek, Kepala Desa, dan kuasa hukum korban.
Menurut Suyono, saat mediasi, orangtua korban meminta pertanggungjawaban para orangtua terduga pelaku. Orangtua korban meminta biaya pengobatan senilai Rp200 juta dengan jangka waktu satu minggu.
Akan tetapi, laniut dia, para orangtua terduga pelaku tidak sanggup. Mereka hanya sanggup memberikan total Rp3 juta.
"Muncullah permintaan untuk biaya berobat sebesar 200 juta. Dikasih waktu satu minggu. Tapi orangtua pelaku tidak sanggup, hanya mampu biaya santunan sebesar Rp3 juta," jelasnya.
Mengetahui permintaan itu, Pemdes tidak berani mencampuri hal tersebut. Hingga dipenghujung pertemuan tidak ada kesepakatan dan titik temu.
"Karana tidak ada keputusan lalu lanjut ke PPA Polres. Semua saya serahkan ke pihak korban karena saya tidak berwenang. Desa tidak ikut campur, hanya menyaksikan. Kita tidak berani mencampuri terlalu dalam karena ini kasus pencabulan anak," tandas S.
Sejauh ini, ketiga bocah terduga pelaku yang masih duduk dibangku SD kelas 1 itu telah menjalani pemeriksaan di Polres Mojokerto. Sebelumnya beredar usia para terduga 8 tahun, Suyono meluruskan jika usia yang benar 7 dan 6, hampir sama dengan korban.
"Kemarin tiga anak terduga pelaku kami antar ke Polres untuk menjalani pemeriksaan dengan didampingi orangtuanya. Ini paling umurnya 6 tahun sama 7 tahun, bukan 8 tahun," ungkap S.
Dikonfirmasi terpisah, Kuasa Hukum korban, Krisdiyansari Kuncoro membenarkan hal tersebut. Pihak orangtua korban meminta uang senilai Rp200 juta bukan hanya untuk pengobatan, melainkan juga untuk keperluan pindah sekolah dan tempat tinggal.
Ia menjelaskan, rumah salah satu pelaku yang menjadi pelaku utama berdampingan dengan rumah korban. Ketika melihat pelaku, korban merasa takut dan temperamental. Sehingga orangtuanya menginginkan pindah tempat sekolah dan rumah.
"Meminta uang Rp200 juta itu untuk keperluan biaya pengobatan ke psikiater, pindah sekolah dan tempat tinggal, tapi tidak disetujui. Dari awal sudah bilang, mampunya berapa?," bebernya usai mendampingi korban yang tengah menjalani trauma healing di kantor Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (DPKBP2) Kabupaten Mojokerto.
Ia menyebut, saat mediasi para orangtua korban tidak sanggup membayar uang Rp200 juta. Mereka hanya mampu membayar Rp3 juta.
"Mereka memberikan biaya Rp 3 juta tapi ditolak, karena menurutnya tidak manusiawi," jelas perempuan berusia 30 tahun asal Surabaya itu.
Karena tidak menemukan kesepakatan, akhirnya orangtua korban melaporkan ke Polres Mojokerto berbekal bukti visum dari RSUD Dr Soekandar, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto.
Sementara ini, imbuh Krisdiyansari, orangtua korban berencana mengurus perpindahan sekolah dan tempat tinggal korban dengan biaya sendiri. Atau paling tidak orangtua terduga pelaku berinisiatif memindahkan anaknya sampai korban benar-benar pulih.
"Kalau kayak gini kan orangtua harus cari uang lagi. Sementara ini kita mengambil fasilitas dari TP2PA karena ada psikolog, anak ini sudah mulai temperamen. Kalau anak ini belum bisa pindah paling tidak pelaku ini pindah dulu lah, biar korban ini tenang," pungkasnya.
Seperti diketahui, nasib pilu dialami oleh bocah perempuan berusia 6 tahun di Mojokerto. Ia diduga diperkosa secara bergilir oleh tiga teman sepermainannya yang masih duduk di bangku SD.
Peristiwa pencabulan terjadi pada 7 Januari 2023. Awalnya, korban diajak oleh bocah yang merupakan tetangganya sendiri untuk bermain. Korban diajak ke sebuah rumah kosong. Di sanalah korban diperkosa secara bergantian.
Setelah itu, korban pulang ke rumahnya dengan kondisi baju kotor. Keesokan harinya, korban mengeluhkan ke sakitan saat buat air kecil. Namun korban tidak bercerita terkait kejadian yang menimpanya.
Orangtua korban baru mengetahui setelah salah satu teman korban menceritakan kepada pengasuhnya. Lalu pengasuh korban memberitahu orangtuanya.
Orangtua korban pun geram dan melaporkan ke Pemerintah Desa (Pemdes) setempat. Oleh Pemdes difasiltasi untuk mediasi dengan pihak keluarga tiga terduga pelaku.
Karena tidak ada titik temu, akhirya orangtua korban membuat visum dan melaporkan ke Polres Mojokerto pada 10 Januari 2023. Di sana, orangtua korban juga diarahkan ke P2TP2A untuk dilakukan pendampingan oleh psikolog.