Cerita Anggota Komisi Fatwa MUI saat Nyantri di Lirboyo, 7 Tahun 'Ngrowot'
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
Trenggalek, VIVA Jatim – Anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur yang juga salah satu santri alumni Pondok Pesantren Lirboyo asal Trenggalek ini cukup menginspirasi. Semangat yang besar dalam mencari ilmu dibarengi dengan riyadhoh (bersusah payah) serta berkhidmah yang saat ini menuai kebermanfaatan.
Adalah Gus Zahro Wardi. Selain menjadi Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Desa Sumberingin, Kecamatan Karangan Trenggalek juga pernah dua periode sebagai Badan Wakaf Indonesia (BWI) Trenggalek.
Ditemui di kediamanya, tak jauh dari Stadion Menak Sopal Trenggalek beberapa ratus meter ke arah barat. Ndalem beliau masuk ke gang area pondok pesantren, tampak lalu lalang santri saat sekolah formal sedang istirahat.
Tiba di ndalem, beliau mempersilahkan penulis untuk masuk. Usai mengutarakan maksud dan tujuan, beliau mulai mengulas kenangan-kenangan selama mondok yang tidak pernah terlupakan.
Gus Zahro mengaku himmah-nya mondok, sekalipun dari orang tua ada yang menghendaki mondok, pun juga ada menghendaki sekolah. Ia memilih mondok tahun 1986 karena terkesan dengan KH Sarbini Mursyid, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyid yang dikenal amat alim ilmu agama.
"Saya terinspirasi kepada beliau. Saya heran, kok ada orang ngalim ngaji besar besar artinya saya tidak melanjutkan sekolah umum. Langsung di Lirboyo, kemudian karena masukan dari guru-guru," terang Gus Zahro Wardi, Minggu, 24 Maret 2024.
Ia menerangkan selepas lulus SMPN 1 Pogalan saat tumbuh dewasa lebih berpikir positif, berpikir ke depan. Oleh karena itu saat mondok di Lirboyo selain bersungguh-sungguh dalam mempelajari pelajaran-pelajaran pondok pesantren, kemudian ia secara otodidak juga menambah pengetahuan ilmu-ilmu umum secara sembunyi-sembunyi.
Hal tersebut dilakukan Gus Zahro berkeinginan harus bisa berbicara di hadapan orang lain. Tidak hanya fasih berbicara Indonesia, sekaligus Bahasa Inggris. Ia sendi merasakan semasa di bangku SMP dahulu tidak seketat dengan sekarang. Mulai pengetahuan, keaktifan sampai dalam hal pembelajaran.
"Karena memang saat itu belum ketat tidak menjadi persyaratan orang bisa lulus, maka saya otodidak banyak yang saya peroleh termasuk berbahasa Indonesia dengan lancar, apalagi Bahasa Inggris," ulasnya.
Ditanya soal pengalaman saat mondok di Lirboyo, ia mengaku para masyayikh, pengurus dan santri begitu ditekankan dalam penggabungan ikhtiar lahir dan batin. Menurutnya yang sangat ditanamkan oleh santri lirboyo, sekalipun maju dalam sisi tarbiyah, kondang dalam sisi bahstul masail juga karena usaha lain.
Kemajuan ilmiah lirboyo telah menjadi kebiasaan sejak dahulu sekaligus dibarengi rohaniyah dan dhohiriyah itu sangat ditekankan. Gus Zahro sendiri mengaku dalam hal riyadhoh di samping lahir lantaran diajarkan oleh guru-guru.
Mulai ada istilah ngrowot yakni tidak makan dari makanan nasi. Lalu, 'tarku bi ruh' alias tidak memakan makanan yang mengandung dengan hewan bernyawa. Termasuk bagian dari riyadhoh yaitu tidak pulang bertahun-tahun tidak pulang.
"Dari riyadhoh berusaha kita lakukan, termasuk saya hampir 7 tahun saya ngrowot. Kami mengikhtiari juga melalui khidmah, karena khidmah diyakini santri sebagai bagian dari ilmu ini bermanfaat," kenangnya.
Kiai muda yang juga Tim Ahli Lembaga Bahstul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menjelaskan pada menikah 2005, ia oleh masyayikh belum boleh untuk pulang. Sehingga ini yang sangat terkesan. Sudah menikah, rumah beliau Trenggalek, pun ketika telah memiliku buah hati tetap belum boleh untuk pulang.
Dalam berkhidmah, Gus Zahro beserta asatidz lainnya tidak menerima gaji, yang ada hanyalah bisyaroh. Dimana bisyaroh tersebut hanya untuk pulang pergi Trenggalek-Lirboyo.
Beliau sebagai mustahik istilah pengajar utama atau wali kelas yang setiap hari harus masuk. Selepas tamat 1997, dirinya berkhidmah ikut di madrasah mengajar santri-santri atas perintah Masyayikh Lirboyo.
Dirinya mendapatkan perintah supaya membersamai santri menamatkan santri dari Kelas 1 Aliyah. Padahal masyayikh mengetahui bahwa rumah beliau jauh. Namun, beliau yakin dengan ketulusan dan keikhlasan apa yang diminta masyayikh kelak akan bermanfaat, sekalipun itu berat.
"Secara akal tidak masuk akal untuk kehidupan setelah menikah. Sebab bisyaroh selama bulan di Lirboyo sampai saat ini hanya cukup untuk 3 hari saya sendiri. Berjalan malah selama 4 tahun," imbuhnya.
Gus Zahro menambahkan kala berada mondok tidak ikut ndalem, tetapi berkhidmah di madrasah dengan cara menyapu lokal. Beliau sebagai pembersih tukang sapu lokal, dan ada 9 lokal.
Dosen Ma'had Aly Program Pascasarjana PP Lirboyo 2021 sampai sekarang ini yakin dengan mengkhidmahkan diri melayani kiai, pondok, madrasah. Beliau yakin lewat ini sebagai sabaabiyah dan menjadi washilah ilmu bisa menjadi manfaat barakah.
Tidak jauh berbeda apa yang dilakukan para sahabat di zaman nabi, ulama, salafus sholeh, semuanya ahli khidmah. Gus Zahro menggarisbawahi bahwa setiap orang kalau sukses pasti orang dulu ahli riyadhoh dan ahli khidmah. Hal itu sudah dicontohkan Mbah Manab atau KH Abdul Karim sebagai pegangan para santri.
"Sudah mashur bahwa khidmahnya beliau luar biasa dengan Mbah Kholil (Bangkalan), termasuk riyadhohnya juga luar biasa. Kita punya sanad keilmuan dan juga sanad-sanad suri tauladan, sekalipun kita belum mampu sebagian suri tauladan itu," tandasnya.