Dakwah ke Masyarakat Pegunungan, Kiai Ali Basthom Tak Anti Kejawen

Makam Kiai Ali Basthom di sebelah Masjid Pondok Nailul Ulum.
Sumber :
  • Viva Jatim/Madchan Jazuli

Trenggalek, VIVA Jatim – Kala itu usai kemerdekaan 1945 wilayah Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek belum seramai seperti sekarang. Daerah mayoritas dataran tinggi ini kedatangan Kiai Ali Basthom Thoha, hijrah berdakwah dari seberang timur ke daerah Kampak.

Kepribadian menarik beliau membuat banyak masyarakat menaruh simpatik untuk belajar ilmu agama. Beliau kelahiran tahun 1911 merupakan pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Nailul Ulum Kampak, Trenggalek.

Salah satu dzurriyah, Agus Muhammad Habibi mengungkapkan bahwa awal mula lokasi pondok tersebut wingit atau angker dengan makhluk tak kasat mata.

Mendapatkan lampu hijau dari Kepala Desa kala itu untuk menempati lahan, Kiai Ali Basthom menempati lokasi baru untuk berdakwah. Meski terbilang angker, karena masih lebat dan belum terjamah.

"Padahal di sini ini merupakan lokasi wingit, angker banyak jinnya. Diistilahkan jalmo moro jalmo mati, artinya berani datang berarti berani mati. Tapi dengan istilahnya dibilang karomah wallahu a'lam yang jelas pasti maunah dari Allah itu Mbah Ali bisa menghadapi tempat tempat angker," terang Gus Muhammad Habibi, Jum'at, 29 Maret 2024.

Menurutnya, Kiai Ali mengusir secara halus jin-jin yang mengganggu. Namun untuk para jin yang tidak berbuat jahat dibiarkan saja. Perlahan masyarakat zaman awal-awal ngaji biasa, orang-orang desa lalu orang datang hanya ngaji mendengarkan penjelasan-penjelasan beliau.

Gus Muda alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini menambahkan anak-anak desa datang mengaji kitab sampai malam minggu dengan malam lainnya. Kala itu belum ada pondoknya, sampai akhirnya ada beberapa yang mukim atau tinggal menginap di masjid.

Lambat laun, banyak yang akhirnya ingin mondok. Saat itu Kiai Ali hanya mengaji biasa dengan sistem bandongan. Baru di 1980an mulai ada madrasah diniyah dengan sistem yang lebih tertata.

"Lalu mulai dibentuk madrasah tahun 1985, yang memprakarsai madrasah diniyah Pakde Samsul Huda sampai sekarang berjalan," terangnya.

Perihal dengan kultur masyarakat pegunungan, Kiai Ali menaruh simpati dalam berdakwah satu sisi memiliki kepribadian yang menarik, sehingga orang melihat. Namun satu sisi sungkan berbalik dengan rasa senang.

Gus Habibi menceritakan memiliki kepribadian yang menarik yaitu gaya berbicaranya tegas. Lalu dengan istilah bisa ngemong bisa menghadapi siapa saja dari anak kecil hingga orang sepuh.

"Dengan anak kecil bisa, komunikasi dengan anak kecil itu paling sulit, anak kecil. Dengan anak kecil bisa, apalagi dengan orang diatasnya dewasa dan orang sepuh," paparnya.

Lalu, yang tidak lepas dari kultur masyarakat pegunungan itu adalah primbon dan kebiasaan-kebiasaan kejawen, Kiai Ali tidak anti dengan demikian. Dari santri-santri dan ucapan beliau yang pernah disampaikan yaitu tidak antipati dengan kebiasaan tersebut.

"Lek arepe ngugemi monggo, tapi lak ngimani ojo, au kama qol," ujar beliau sambil menirukan dengan Bahasa Jawa.

Menurut Gus Habibi inti dari perkataan tersebut seperti contoh soal menghitung hari menggunakan yang bagus ya silahkan tidak apa apa, sudah ambil hari bagus yang jelek tidak usah. Tidak apa apa, tapi tidak boleh mempercayai yang menjadikan bagus itu hari itu, istilahnya seperti itu.

Dikatakannya, memang perkataan tersebut hanya demikian, tapi berpengaruh betul. Pandangan orang dengan Kiai Ali Bastom hanya dengan omongan seperti itu masyarakat pegunungan memandang satu sisi tidak anti dan sejalan serta sepemahaman memaknai pegangan jawa.

"Akhirnya mereka masyarakat menaruh simpati, didukung dengan mohon maaf selain menghargai juga punya kesaktian," ulasnya.

Sudah menjadi rahasia umum, kala itu pernah Kiai Ali Bastom diciduk dibawa ke Polres Trenggalek. Entah masalah pengajian atau politik, menurut Gus Habibi beliau tidak memiliki salah, tapi dianggap salah oleh polisi. Sesampainya di Trenggalek dianggap salah, begitu oleh aparat langsung main tangan saat mengintrogasi.

Disitu Kiai Ali Batom hanya terdiam dan yang merasakan sakit akibat main tangan malah dari kepolisian. Meskipun beliau tidak membalas, tetapi yang mengalami sakit adalah polisi. Dari situlah masyarakat awam banyak orang mengetahui, terlebih yang masih memegang kultur kejawen akan menaruh hormat.

"Dulu yang diajeni oleh orang karena sakti atau kejadukan," jelasnya.

Beliau wafat pada tahun 1999 dan setiap tahun diperingati lewat acara Haul

Sementara sang istri Nyai Hj Fathonah Basthomi lahir 1933 dan meninggal pada 2013 silam. Sang putra yang sebelumnya meneruskan perjuangan tonggak estafet, KH Syamsul Huda Basthomy lahir 1959 dan wafat pada 2011.

Makam beliau terletak masih dalam area pondok dan tak jauh dari masjid Pondok Pesantren Nailul Ulum. Ruangan sedang yang terletak di utara masjid menjadi peristirahatan terakhir beliau dan meninggalkan uswah serta ilmu yang akan terus langgeng untuk dilanjutkan oleh dzurriyyah.