Sejarah Berliku-liku AHWA, Jalan Mufakat Memilih Pemimpin Tertinggi NU
- Nurcholis Anhari Lubis/Viva.co.id
Surabaya, VIVA Jatim – Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (Konferwil NU Jatim) di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, akan digelar oleh PWNU Jatim pada 2 sampai 4 Agustus 2024. Tinggal menghitung hari. Salah satu agenda utama gelaran tersebut ialah memilih pemimpin tertinggi NU di tingkat wilayah, rais syuriah, dan ketua tanfidziyah.
Yang paling dinamis dalam pemilihan itu ialah ketua tanfidziyah. Sebab, mekanisme pemilihannya ialah melalui pemilihan langsung oleh peserta konferwil. Pada Konferwil NU Jatim kali ini, Katib Syuriah PWNU Jatim KH Romadlon Khatib, beberapa hari lalu mengatakan, peserta konferwil ialah dari PCNU se Jatim. Saat pemilihan, satu PCNU satu suara.
Bagaimana dengan pemilihan rais syuriah? Mekanismenya melalui ahlul halli wal aqdi (AHWA). Untuk tingkat wilayah, papar Kiai Romadlon, anggota Ahwa terdiri dari 7 kiai khos yang diakui kedalaman ilmu agama dan kebijaksanaannya, juga diakui keteladanannya. 7 kiai khos inilah yang nantinya akan menunjuk siapa di antara mereka untuk menjadi Rais Syuriah PWNU Jatim lima tahun ke depan.
Mekanisme AHWA memiliki sejarah panjang di lingkungan NU. Embrionya pada saat pelaksanaan Muktamar ke-27 di Kabupaten Situbondo pada 8-12 Desember 1984. Merujuk pada buku Ahlul Halli wal Aqdi: Sejarah, Konsep, dan Konstruksi Sistem Transisi Politik NU karya HM Hasan Ubaidillah terbitan LTN NU Jawa Timur (2019), di Muktamar Situbondo itu, KH Ahmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU oleh para ulama anggota AHWA.
Sebelumnya, saat awal-awal NU berdiri pada tahun 1926, pimpinan tertinggi NU disebut dengan Rais Akbar dan dipegang oleh KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim). Setelah Mbah Hasyim wafat, pimpinan tertinggi NU diamanatkan kepada KH A Wahab Chasbullah (Mbah Wahab). Penyebutannya pun diubah dari rais akbar menjadi rais aam.
Sepeninggal Mbah Wahab, jabatan Rais Aam PBNU diserahkan kepada KH Bisri Syansur (Mbah Bisri). Mbah Bisri wafat di tengah masa kepemimpinan. “Untuk mengisi jabatan antar waktu posisi Rais Aam, maka pada Musyawarah Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, tahun 1981, para kiai Nahdlatul Ulama mendaulat KH Ali Maksum menjadi rais aam,” tulis Ubaidillah dalam bukunya itu.
Kiai Ali Maksum menjabat sebagai Rais Aam NU hingga Muktamar Situbondo. Di Muktamar NU Situbondo itulah AHWA mula kali dipraktikkan. KH Ahmad Shiddiq kembali teripilih sebagai Rais Aam NU setelah terpilih pada Muktamar NU ke-28 pada 25-28 Nopember 1989. Bedanya, kali ini AHWA tidak dipraktikkan lagi. Kiai Ahmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU melalui voting.
Sejak itu mekanisme pemilihan Rais Aam NU dilakukan dengan pemilihan langsung. Wacana mekanisme AHWA kembali dibuka saat Rais Aam PBNU dijabat oleh KH Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, yang terpilih untuk kedua kalinya di Muktamar ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23-28 Januari 2010.
Saat itu, ia mengeluarkan instruksi agar PBNU membentuk tim khusus untuk mengkaji secara akademik sistem pemilihan AHWA dan rumusannya dibawa di Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar NU ke-2 di Jakarta pada 2-3 Nopember 2014. Tujuannya ialah untuk mengembalikan proses pemilihan dan penetapan Rais Aam melalui musyawarah mufakat, sebagaimana dicontohkan para pendiri NU.
Di forum itu kemudian ditetapkan AHWA dipakai untuk kepemimpinan NU secara bertahap, yakni dimulai dari pemilihan rais syuriah, dari PBNU hingga ranting. Sedangkan untuk ketua tanfidziyah di semua tingkatan menggunakan sistem pemilihan langsung.
Belum juga AHWA terwujud, Kiai Sahal Mahfudh wafat. Jabatan tertinggi NU itu kemudian dimandatkan kepada KH Ahmad Musthafa Bisri atau Gus Mus. Dalam forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar ke-3, AHWA kemudian ditetapkan untuk dipakai sebagai sistem pemilihan rais aam pada Muktamar ke-33.
Kendati diwarnai pro dan kontra di tengah peserta muktamar, sistem AHWA kemudian dipakai kembali untuk memilih Rais Aam PBNU di Muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015, kendati tak sesederhana di Muktamar Situbondo 1984. Di Muktamar Jombang, 9 ulama khos anggota AHWA menunjuk Gus Mus untuk menjadi Rais Aam PBNU.
Namun, setelah diwarnai situasi dramatis, Gus Mus menolak amanat itu dan meminta KH Ma’ruf Amin menempoti posisi pimpinan tertinggi NU tersebut. Muktamirin setuju dan Kiai Ma’ruf Amin kemudian terpilih sebagai Rais PBNU hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Sejak itu sampai sekarang, mekanisme AHWA untuk pemilihan rais syuriah di semua tingkatan NU dipakai.