Melalui Rumah Ceria Medan, Yuli Yanika Perjuangkan Pendidikan Setara bagi Anak Difabel
- Istimewa
Medan, VIVA Jatim –Yuli Yanika, yang akrab dipanggil Kak Uye, adalah sosok penuh perhatian terhadap anak-anak disabilitas di Medan. Perhatiannya tercermin melalui pendirian sekolah 'Rumah Ceria Medan' (RCM) di Jalan Bunga Teratai, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan. Uye mendirikan RCM sebagai sekolah inklusif yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus dan menggabungkan mereka dengan anak-anak lainnya dalam satu kelas, dari tingkat PAUD, TK, hingga SD.
RCM menjadi satu-satunya sekolah di Sumatera Utara yang menggunakan kombinasi bahasa isyarat dan lisan dalam seluruh kelasnya. Hingga kini, RCM memiliki 16 siswa dengan berbagai kondisi, seperti tuna rungu, gangguan intelektual, tuna grahita, keterlambatan bicara, hingga down syndrome. Dalam proses belajar, guru-guru di RCM menerapkan bahasa isyarat dan lisan secara bergantian.
Uye memiliki harapan besar agar masyarakat tidak mendiskriminasi anak-anak berkebutuhan khusus. Ia ingin membangun kesadaran bahwa anak-anak dengan disabilitas layak untuk belajar bersama anak-anak lainnya tanpa menghadapi stigma atau perundungan.
"Lewat Rumah Ceria Medan, saya ingin menghapus diskriminasi dengan meningkatkan literasi tentang difabel," ujarnya beberapa waktu lalu.
Perjalanan Uye dalam dunia pendidikan difabel dimulai pada 2013, ketika ia mengajar di sebuah sekolah swasta dan berhadapan dengan seorang murid tuna rungu yang berusia 15 tahun dan telah tertinggal kelas enam kali. Meski guru-guru lain merasa murid tersebut sulit ditangani, Uye melihat tantangan ini sebagai kesempatan. Ia mulai mempelajari bahasa isyarat dari YouTube dan bantuan teman-temannya. Setelah mengajar dengan metode bahasa isyarat dan lisan, murid tersebut mulai memahami pelajaran. Dari sini, Uye menyadari bahwa anak-anak difabel memerlukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, bukan sekadar disamakan dengan murid pada umumnya.
Terinspirasi oleh pengalaman tersebut, Uye mendirikan Sanggar Ceria pada 2015 dengan konsep sekolah alam bagi anak-anak difabel, di mana mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung tanpa biaya. Sanggar ini tidak hanya menarik minat anak berkebutuhan khusus, tetapi juga anak-anak normal di sekitarnya, yang belajar, bermain, dan bersosialisasi bersama. Uye semakin yakin bahwa anak-anak difabel dan normal bisa belajar bersama selama guru mampu menggunakan bahasa isyarat dan lisan.
Pada 2018, berkat dedikasinya yang menginspirasi banyak orang, Uye menerima apresiasi Satu Indonesia Award (SIA) dari PT Astra International. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas kontribusinya dalam memajukan pendidikan inklusif bagi anak-anak disabilitas dan menggalakkan kesetaraan dalam pendidikan.
Kemudian di tahun 2019, Uye mengambil langkah lebih besar dengan membuka RCM. Ia menyewa sebidang tanah di Jalan Bunga Teratai, Medan, dan mengurus perizinan untuk membuka sekolah yang menyatukan anak-anak normal dan difabel. Di RCM, anak-anak dari keluarga mampu membayar biaya sekolah, sementara yang kurang mampu dibebaskan dari biaya. RCM kini memiliki enam guru dan satu psikolog anak yang mengajar sekitar 40 siswa, termasuk 16 anak difabel. Untuk memenuhi kebutuhan khusus anak difabel, RCM mengembangkan kurikulum tambahan selain mengikuti kurikulum nasional.
Di luar kegiatan belajar-mengajar, RCM juga menyediakan terapi sesuai kebutuhan anak, pelatihan menari untuk melatih saraf motorik, dan kelas fotografi untuk menyalurkan minat anak-anak. Meskipun fasilitas RCM belum memadai untuk semua jenis disabilitas, Uye berharap suatu hari nanti RCM dapat menerima lebih banyak anak disabilitas dengan beragam kebutuhan.
Ke depan, Uye berencana membuka kelas SMP di RCM agar anak-anak difabel yang lulus dari tingkat dasar bisa melanjutkan pendidikan dan berbaur di sekolah umum pada jenjang SMA. Ia berharap RCM dapat mendukung anak-anak ini agar tidak tertinggal dan mendapatkan kesempatan untuk meraih pendidikan setara di sekolah umum yang menerima siswa difabel.