Pesantren dan Hukuman Santri Meninggal (2)

Ilustrasi santri di pesantren.
Sumber :
  • Viva.co.id

Jatim – Terdapat pesantren yang menggunakan sistem secara ketat dengan peraturan yang agak keras, bahkan cendrung menggunakan hukum bullying untuk menimbulkan efek jera. Selam tidak berlebihan, hal itu diperbolehkan dalam agama Islam dengan beberapa batasan.

Tujuan takzir sebenarnya adalah untuk kemaslahatan, sehingga pesantren menjadi kondusif. Pimpinan pondok pesantren dan pengurus merupakan representasi dari seorang hakim atau ulil ‘amri yang dapat menegakkan hukuman takzir demi kemaslahatan. Sebagaimana dalam kaidah fiqih yang artinya: “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.” (Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Fikih, Surabaya, Kalam Mulia, hlm. 61). 

Asal peraturan yang dijalankan bernilai maslahat bagi lingkungan pesantren yang dipimpin atau diurus, maka hukum tersebut, baik berupa pukulan  ringan (biasanya menggunakan rotan di daerah betis ke bawah) atau sesuatu yang membuat efek jera boleh saja dilakukan di dalam pesantren.

Selain itu, pada umumnya santri sudah mengetahui konsekuensi pelanggaran yang akan mereka dapat. Semisal, santri tidak boleh membawa hp. Jika terbukti membawa barang elektronik ke pondok pesantren, maka akan disita dan dihancurkan.Hal itu menjadi bukti jika tidak ada tanggungan bagi pesantren dikemudian hari hp santri disita dan dihancurkan.

Pedidikan semacam itu telah dipertimbangkan sedemikian mungkin maslahat dan mafsadatnya, tergantung tingkatan efektivitas sanksi. Tentu di lain tempat, pondok pesantren melakukan sanksi yang berbeda dengan kasus yang sama. 

Kasus kematian santri pada suatu pondok pesantren tentu sebuah kecelakaan, tidak mungkin diinginkan terjadi dalam pesantren. Jika itu terjadi, maka pondok pesantren yang melakukannya perlu dievaluasi. Karena pada prinsipnya ilmu dan pembelajaran semestinya mengantarkan santri sebagai manusia. 

Sebagaimana perkataan Ibnu Khaldun, yang artinya: “Pengetahuan dan pembelajaran adalah fitrah dalam peradaban manusia, karena manusia dibedakan dari binatang oleh akal, yang dengannya ia dibimbing untuk memperoleh penghidupannya.” 

Maka perbuatan di luar nalar, dalam konteks ini adalah pembunuhan, itu dilarang oleh agama, bahkan agama manapun. Selain itu, bagaimanapun alasannya hal itu telah menyalahi salah satu maqashidu syari’ah yang mana di dalamnya mencantumkan jika manusia harus “menjaga jiwa”. Maka, seseorang yang melakukan sesuatu yang dapat mengakibatkan seseorang mati adalah sebuah kesalahan (terlepas dari ketidaksengajaan).

Wallahu a’lam.

 

Penulis: Ahmad Fatoni, alumnus Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang.