Perbedaan Mendasar Tradisi Toron Tana Masyarakat Madura dan Jawa

Ilustrasi Bayi toron tana
Sumber :
  • Twiter

JatimTradisi Toron Tana merupakan tradisi yang dilakukan oleh para orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang sehat dan baik. Tradisi Toron Tana dilaksanakan dengan harapan seorang anak bisa berbakti kepada kedua orangtua dan berguna bagi nusa dan bangsa. 

Tradisi toron tana bagi orangtua menjadi salah satu perantara berdoa agar umur anaknya senantiasa diberkati oleh Sang Maha Pencipta. Sebagian masyarakat Madura mengistilhkan dengan tradisi Toron Tana (Turun Tanah). Sementara, di kalangan masyarakat Jawa, tradisi ini dikenal dengan istilah Tedak Siten.

Upacara adat ini digelar sebagai bentuk rasa syukur karena sang anak akan mulai belajar berjalan. Selain itu, ritual ini juga merupakan salah satu upaya memperkenalkan anak kepada alam sekitar dan juga ibu pertiwi.

Toron Tana adalah ritual doa yang dilaksanakan untuk menandakan anak yang berusia 7 bulan sudah bisa menyentuh tanah. Secara filosofis, ritual ini adalah simbol bahwa, anak 7 bulan sudah mulai mengenal benda-benda di sekitar.

Di usia ini, biasanya seorang anak sudah bisa meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Karena itu, orangtua sudah mulai mendampingi anak-anaknya agar tidak terpengaruh hal-hal buruk yang terjadi di lingkungan sang anak.

Setiap wilayah di Madura mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menggelar upacara Toron Tana, baik dalam bentuk ritual maupun pelaksanaannya.

Ada yang melaksanakan ritual Toron Tana dengan tasyakuran atau kenduri. Yang punya hajat biasanya mengundang anak-anak sanak keluarga dan tetangga untuk menyaksikan ritual sekaligus doa bersama untuk kebaikan sang bayi.

Sejumlah anak sanak keluarga dan tetangga juga menjadi saksi bahwa bayi tersebut sudah tidak lagi mempunyai pantangan menyentuh atau menginjak tanah.

Dalam prosesi Toron Tana, bayi akan menginjak bubur. Makanan ini terbuat dari beras ketan dicampur parutan kelapa muda dan ditumbuk hingga bercampur menjadi satu dan bisa diiris. Beras ketan tersebut diberi pewarna merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga, dan ungu.

Jadah ini menjadi simbol kehidupan bagi anak, sedangkan warna-warni yang diaplikasikan menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui sang anak kelak. Penyusunan jadah ini dimulai dari warna hitam hingga ke putih sebagai simbol bahwa masalah yang berat nantinya ada jalan keluar atau titik terang.

Sementara itu, makanan tradisional lainnya yang disediakan untuk acara Toron Tana berupa tumpeng dan perlengkapannya, serta ayam utuh. Tumpeng sebagai simbol permohonan orang tua agar si bayi kelak menjadi anak yang berguna. Sayur kacang panjang sebagai simbol umur panjang, sayur kangkung sebagai simbol kesejahteraan, kecambah sebagai simbol kesuburan. Sedangkan ayam adalah simbol kemandirian.

Mengambil Barang yang Sesuai Naluri Bayi

Setelah prosesi menginjak bubur 7 warna, si bayi dihadapkan dengan benda-benda yang disediakan di tempat khusus. Benda-benda tersebut berupa sisir, pensil, buku, kaca, bedak, Alquran, peralatan memasak, dan benda-benda lainnya yang kerap digunakan sebagai kebutuhannya sehari-hari kelak.

Bila ternyata bayi meraih sisir, misalnya, diyakini kelak dia akan suka bersolek dan selalu tampil dengan rapi. Bila bayi meraih pensil, bayi tersebut diyakini akan pandai menulis. Jika meraih Alquran, si bayi akan menjadi orang yang suka mengaji atau menghafal Alquran.

Alat atau benda tersebut merupakan simbol yang menunjukkan bahwa, sejak usia dini anak-anak sudah mulai mengenal apa yang harus ia lakukan kelak. Semua adalah doa atau harapan agar si bayi menjadi anak yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain.

Ritual lainnya adalah prosesi naik tangga. Tangga tradisional yang dibuat dari bambu / tebu jenis ‘arjuna’ dengan dihiasi kertas warna-warni. Prosesi ini tampaknya tak jauh beda dengan prosesi Tedak Siten, sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ritual ini melambangkan harapan agar si Bayi memiliki sifat kesatria Sang Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggungjawab dan tangguh).

Tidak semua masyarakat melakukan ritual memasak bubur untuk acara Toron Tana. Sebagian masyarakat Madura ada yang menggelar upacara Toron Tana di tempat-tempat sakral dan keramat seperti makam para wali, masjid Agung, dan tempat sakral lainnya.

Hal itu diyakini bahwa, di tempat-tempat tersebut akan menumbuhkan berkah yang lebih besar.