'Janggelan' Bahan Cincau di Trenggalek Lebihi Pendapatan, Hasilkan 30 Ton per Bulan

Janggelan (bahan cincau hitam) di Trenggalek tumbuh subur.
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Trenggalek, VIVA Jatim –Rimbun pepohonan menemani perjalanan di sebuah daerah penghasil bahan cincau. Masyarakat Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur menyebut 'Janggelan' (ejaan sate), beberapa tahun menjadi tanaman yang memiliki potensi sebagai penghasilan.

Masyarakat menjadikan tanaman cincau hitam dengan nama latin Platostoma Palustre yang masuk dalam genus Plastoma keluarga Lamiaceae sebagai sampingan. Namun hasil penjualan melebihi pendapatan utama masyarakat.

Salah satu petani asal Desa/Kecamatan Pule, Ahmad Yani (53) mengungkapkan bahwa dulu mendapat bibit dari kecamatan tetangga. Setelah panen, hasil pertama dirinya mencoba mengembangbiakan agar lebih luas. 

Baru panen kedua, ia menjualnya ke pengepul.  Lahannya yang berjarak sekitar 2 KM dari rumah. 

Ia hanya beberapa kali merawat. Pasalnya tumbuhan tersebut tak memerlukan perlakuan khusus saat pembesaran hingga panen.

Di musim kemaru, pertumbuhan lebih cepat. Selain itu, saat dipanen proses pengeringan lebih cepat bila dibanding dengan musim penghujan. Termasuk dari segi harga bisa ikut naik seiring dengan ketersediaan stok dari petani dan momen permintaan cincau.

"Tengkulak biasanya menaikkan harga Janggelan di musim kemarau. Mngkin karena stok pemasok yang sedikit," beber Yaji kepada VIVA Jatim, Kamis, 21 September 2023.

Dirinya mengaku, tanaman cincau hitam miliknya menggunakan sistem tumpang sari. Ada tanaman lengkuas, namun harga lengkuas saat ini sedang berada di bawah.

Lahan cincau hitam milik Yaji seluas satu seperempat hektare. Menurutnya, bagi dirinya lumayan sebagai penghasilan, meski tak banyak perawatan mampu sebagai penopang kebutuhan saat dibutuhkan.

"Hasilnya tiap panen Rp 250 sampai Rp 500 ribu jika di panen bersamaan. Penghasilan tergantung  harga pasar yang naik turun dan musim penghujan atau kemarau," bebernya.

Senada, penggerak Desa Sejahtera Astra (DSA), Agus Yusuful Hamdani mengungkapkan mendapatkan pendampingan dari Astra dua kali. Pertama di tahun 2019 untuk komoditas porang, lalu kedua untuk komoditas Janggelan atau bahan pembuatan cincau hitam.

Gus Yusuf mengungkapkan bahwa dari segi harga, Janggelan lebih stabil bila dibandingkan Tanaman Porang. Tumbuhan tersebut tersebar di sepuluh desa di Kecamatan Pule.

Membentang mulai Desa Jombok, Suko Kidul, Karanganyar, Tanggaran, Poyung. Lalu Desa Sidomulyo, Joho, Kembangan, Pakel, serta Desa Pule.

"Naik turunnya tidak seekstrem porang. Ada basah ada kering harga basah sama harga kering itu berbeda. Kalau janggelan itu di isaran antara mulai Rp 10 sampai 20 ribu, intensitasnya bisa diprediksi," bebernya.

Sembari menyeduh kopi di sebuah lokasi bangunan Jawa klasik ditengah pepohonan beliau mengaku optimistis Tanaman Janggelan. Sebab segmentasi pasar menyasar ke pasar lokal, sehingga mudah untuk di analisasi naik turun harga jual.

Ia mencontohkan, ada bulan-bulan harga bisa meningkat drastis. Seperti di bulan puasa atau bulan suci Ramadhan, harga Janggelan bahan cincau bisa melambung tinggi sesuai permintaan pasar lokal.

"Hanya di momen-momen tertentu, karena lebih banyak penggunaan hasil dari Janggelan digunakan sebagai cincau sehingga konsumen cincau itu masih musiman," ulasnya.

Untuk hari-hari begini, Gus Yusuf menerangkan banyak hasil panen dari petani yang dikirim keluar daerah Trenggalek. Sejauh ini ada beberapa daerah yang siap menampung, yaitu mulai Surabaya, Lamongan serta sebagian di Wonogiri, Jawa Tengah.

"Selama ini saat hasil panen melimpah, kita kirim ke paling besar di kawasan 3 daerah ini," paparnya.

Gus Yusuf mengakui proses tanam awal hingga panen membutuhkan waktu tiga bulan. Kesejahteraan masyarakat belum begitu besar. Pasalnya, naik turun harga karena tingkat kebutuhan pasar di Trenggalek belum begitu besar.

Petani di seluruh desa memiliki kelompok tani. Hasil dari panen disetor ke salah satu desa untuk dijadikan satu. Dibentuk kotak-kotak atau di pres dengan alat, diikat rapi lalu dikirim ke beberapa daerah. 

Hasil dari petani, sebagian diproduksi sesuai permintaan pasar lokal. Sementara untuk yang kering dan dipadatkan untuk dipasok ke beberapa daerah.

Sementara untuk hasil, Gus Yusuf mengungkapkan tidak tentu. Namun rata-rata minimal mobil truk kisaran 3 sampai 4 ton sekali panen. Binaan petani setiap hari setor mengingat janggelan tidak mengenal musim.

Sehingga setiap hari mendapat kiriman hasil panen dari petani, namun intensitas petani tidak tertentu. Terkadang sehari dapat 2 ton kadang 3 ton. Bahkan, saat panen melimpah dan tumbuhan yang bagus, petani bisa sampai 10 ton per hari.

Sementara, jika hasil petani hanya mendapat 1 tonz berarti harus menunggu 3-4 hari. Pengiriman tidak menentu, menunggu jumlah panenan dari petani cukup. Harga normal Rp 10 sampai Rp 15 ribu per Kg, bahkan dahulu pernah sampai 40 ribu.

"Kalau satu bulan akumulasi minimal 30 ton ada, karena setiap hari misalnya sehari 1 ton. Cuma ya itu, tidak menentu sehari bisa 3 sampai 4 hari baru dikirim, sebagian kita oleh untuk kebutuhan-kebutuhan lokal warung-warung," sambungnya.

Disinggung kendala yang dihadapi petani, Gus Yusuf mengaku hingga sampai sekarang janggelan tidak ditemukan hama atau penyakit aneh lainnya di tumbuhan. 

Sehingga sampai hari ini belum pernah ada keluhan dari petani terkena hama seperti Tanaman Porang. 

Kendati musim kemarau paling kekurangan adalah air masih dalam kategori wajar. Sebab di daerah Kecamatan Pule sebagia besar berada di dataran tinggi. Sehingga bulan kemarin dibanding bulan ini ada perbedaan  dalam jumlah panen.

Pria yang juga memiliki usaha rokok ini mengungkapkan, hasil bahan cincau hitam lebih menjanjikan. Pertama, pasar Janggelan memiliki pasar lokal yang lumayan banyak, sehingga harga relatif terjaga.

Terlebih, perawatan tanaman cincau lebih gampang. Ibarat petani hanya menanam janggelan seakan-akan sekedar jadi sampingan tetapi kemudian hasilnya menjadi pendapatan utama.

Gus Yusuf menjelaskan masyarakat senang dalam menanam janggelan. Tidak begitu merawat dan tidak banyak memakan biaya perawatan, bahkan banyak masyarakat yang tidak diapa-apakan, hanya ditanam.

"Menanam sekali, hanya bisa berbulan-bulan panennya bisa berkali-kali. Masyarakat juga masyarakat merasa menjadi solusi. Membuat income tambahan, bahkan di beberapa keluarga ini menjadi pemasukan utama," akuinya.

Ia berharap, kedepan banyak pihak yang kemudian ikut berperan serta untuk memberi solusi. Bagaimana petani Janggelan bukan hanya sekadar mendapatkan hasil panen kemudian dijual.

Akan tetapi, bagaimana petani di daerah memiliki terobosan-terobosan untuk meningkatkan pendapatan. Sehingga, petani selain sebagai penyuplai bahan, sekaligus sebagai produsen minimal home industri sebagai nilai tambah.

"Kita berharap ada yang terlibat untuk proses-proses Janggelan sampai ke proses bahan jadi turunannya banyak. Bisa jadi makanan olahan dan lainnya," tandasnya.