Vinda, Doktoral Muda ITS Asal Trenggalek Sempat Magang di Laboratorium Jepang

Vinda Zakiyatuz Zulfa, Doktoral di Bidang Fisika ITS asal Trenggalek
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Trenggalek, VIVA Jatim –Sederhana namun menyimpan ilmu memdalam tampak dari salah satu perempuan asal Trenggalek ini. Adalah Vinda Zakiyatuz Zulfa yang beberapa waktu lalu sukses menyelesaikan Studi Doktoral Bidang Fisika  di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Vinda memperoleh Beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang mengharuskan jumlah publikasi karya ilmiah internasional sebanyak dua. Saat S3, ia mulai memikirkan untuk menyelesaikan publikasi kedua sebelum bulan Juni. 

Sehingga pada saat itu saya mendaftar Magang di Laboratorium Shibaura Institute of Technology (SIT) Jepang selama satu bulan. Pasalnya, ia mengambil hanya satu bulan, karena tidak ingin kuliahnya molor kedua kalim

"Alhamdulillah saya diterima dan pertama kali menginjakkan kaki saya di luar negeri. Hal yang saya impikan sejak S1," beber Vinda kepada VIVA Jatim, Senin, 30 Oktober 2023.

Pada tahun 2018,  Vinda melanjutkan studi pascasarjana di Departemen Fisika Fakultas Sains dan Analitika Data atau FSAD ITS Surabaya melalui beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor Unggul (PMDSU batch IV). Ini adalah beasiswa program percepatan Pendidikan magister dan doktor dengan masa pendidikan 4 tahun.

Perempuan kelahiran Trenggalek pada Juli 1995 ini mengaku sebenarnya juga tidak pernah kepikiran untuk masuk Jurusan Fisika. Lantaran, banyak orang berpikir ilmu yang susah dan belum jelas kerja usai lulus.

Ia bersama 4.010 wisudawan ITS dalam gelaran wisuda ke-128 kampus di Graha ITS  Surabaya ini mengakui dirinya memang tipe orang yang lebih suka belajar itung-itungan dari pada menghafal. Tapi waktu SMP, pelajaran yang sangat saya sukai yaitu matematika dan kesenian.

Seiring berjalannya waktu, Vinda suka sekali dengan pelajaran Fisika, yang saat itu Guru Fisika SMA, Mukhlis dengan yang cara mengajarnya sangat mudah dipahami. Membuat ia semenjak kelas X SMA, nilai Fisika dan Matematika selalu bagus.

"Tapi saat itu cita-cita saya sama dengan kebanyakan orang yaitu jadi dokter, hehehe," selorohnya.

Namun takdir berkata lain, saat menginjak kelas XI SMA, ekonomi keluarga Vinda berada di titik terbawah. Saat kelas XII SMA mulai berdiskusi dengan Guru Bimbingan Konseling (BK) mengenai jurusan yang sesuai.

Impiannya untuk jadi dokter saat itu ia buang, karena sadar diri bahwa tidak mungkin dari segi keuangan. Sebenarnya, mungkin saja bisa mendaftar beasiswa Bidikmisi, namun persyaratan harus mencantumkan seperti foto rumah, surat keterangan tidak mampu tidak bisa terpenuhi.

Persyaratan-persyartan ini tentu tidak bisa ia penuhi, karena rumahnya saat itu tergolong rumah bagus walaupun rumah itu satu-satunya harta keluarga. Setelah berdiskusi dengan guru BK dan keluarga, akhirnya mendaftar SNMPTN.

Jurusannya ia lupa, karena waktu itu asal ngisi. Ternyata SNMPTN ini bukan rezeki Vinda, disini ia mulai mencari-cari sekolah dengan biaya rendah dan kalau bisa ada biaya hidupnya. Karena Ibu sudah mengatakan kepadanya ketika lanjut kuliah.

"Nggak tahu nanti biaya kuliah dan biaya hidup darimana, kalua nggak bisa ya kuliah dekat-dekat sini saja nggak mikir kos-kosan," ujar Vinda sembari menirukan kata ibunya. 

Perempuan yang hobi Voli dan Tenis meja ini mendaftar semua sekolah ikatan dinas yang tidak perlu membayar SPP. Pada tahun 2013 itu, pendaftaran sekolah ikatan dinas dalam waktu berbeda sehingga bisa mendaftar pada beberapa instansi.

Dari situ, ia tidak menyerah, akhirnya alumnus SMAN 1 Boyolangu Tulungagung belajar untuk mengikut tes tulis PTN dengan waktu kurang dari dua bulan. Disini saya kembali berdiskusi dengan bulek dan beliau menyarankan untuk mendaftar di ITS. 

Walaupun di ITS kampus bergengsi dan idaman, menurutnya biaya kuliah murah. Saat itu ia berfikir untuk memasukkan jurusan Fisika di pilihan kedua, karena memang suka fisika dan akan lebih mudah jika semua dijalani dengan senang. 

Selain itu, Vinda searching di google untuk prospek kerja jurusan ini. Tidak seperti apa yang orang fikirkan, di jurusan Fisika masih ada cabang minat seperti Instrumentasi yang bisa bekerja di perusahan sensor, perminyakan dan lain-lain.

Untuk Geofisika bisa masuk di perminyakan, pertambangan. Lalu Vinda melanjutkan Material, Teori, Optik, Akustik, dan Fisika Medis bisa bekerja di rumah sakit.

"Saya sangat tertarik dengan instrumentasi medis. Tahun 2013 Instrumentasi dan Medis masih menjadi satu karena melanjutnya cita-cita saya dulu ingin bekerja sebagai dokter," imbuhnya.

Saat tes tulis, ia diterima di jurusan Fisika ITS hingga dinyatakan lolos diterima dengan SPP terendah 500 ribu per semester. Walaupun ibunya tidak yakin bisa membayar, tapi dirinya meyakinkan beliau jika semua pasti ada jalan.

Akhirnya, perempuan yang memiliki tokoh inspirasi Khadijah binti Khuwailid ini masuk perkuliahan di ITS, beberapa bulan awal tidak membawa motor, sehingga harus pulang pergi jalan kaki dan naik angkot. Namun setelah itu, ibu membelikan ia motor Astrea yang dikirimkan ke Surabaya. 

"Saat itu saya tidak merasa malu memakainya, walaupun saya lihat hanya ada dua mahasiswa di parkiran yang memakai motor itu," selorohnya.

Sebelum semester satu berakhir, putri pasangan Saefur Ridwan dikabari oleh teman bahwa saya mendapat beasiswa bidikmisi (sekarang KIP). Karena kuota beasiswa tersebut masih banyak yang kosong, sehingga mahasiswa dengan SPP terendah dimasukkan kedalamnya. 

Vinda merasa bersyukur, biaya SPP setelahnya gratis, dan saya mendapatkan biaya hidup sebesar 600 ribu. Disela jadwal kuliah ia juga mengajar les privat dari rumah kerumah dengan motor butut.

"Alhamdulillah semua terpenuhi, walapun terkadang masih meminta tambahan uang untuk membayar kos. Pada saatu kuliah S1 saya bertekad untuk lulus Cumlaude atau lulus 3.5 tahun," akuinya. 

Usai lulus Vinda mulai mencari pekerjaan dan tetap mengajar les privat dengan jadwal yang lebih padat. Namun dari pekerjaan ini semua mengharuskan kontrak selama minimal 2 tahun. Sedangkan ia bercita-cita untuk melanjutnya S2 terutama di luar negeri. 

"Kemudian saya mulai mencari informasi beasiswa kuliah S2. Saat itu saya belum percaya diri dengan kemampuan Bahasa inggris, sehingga mengurungkan niat untu mendaftar S2 di luar negeri setelah lulus," terangnya.

Saat itu juga di ITS tidak ada beasiswa yang memberikan biaya hidup. Perempuan asal Kecamatan Durenan Trenggalek ini menunggu selama satu tahun untuk mempersiapkan Bahasa inggris dan tetap di Surabaya bekerja sebagai guru les. Setahun setelah lulus, terdapat pengumuman CPNS dan mendaftar.

Ternyata belum rejeki vINDA juga. Pengumuman ini dibarengi dengan ia dikeluarkan dari Lembaga Bimbingan Belajar karena izin untuk ikut tes CPNS. Saat itu ia sangat terpukul. Beberapa bulan, temannya menginformasikan bahwa beasiswa PMDSU (Program Menuju Doktor Untuk Sarjana Unggul) dibuka. Yaitu program percepatan S2-S3 dengan waktu 4 tahun. 

Ia mendaftar pada program ini, dan mengasampingkan keinginan lanjut di luar negeri. Karena ternyata di beasiswa PMDSU juga terdapat program penelitian selama 3-6 bulan di luar negeri.

"Alhamdulillah saya diterima pada program ini dengan SPP full dan biaya hidup sebesar 4 juta sebulan. Menurut saya biaya hidup ini lebih dari cukup," katanya.

Ia sangat bersyukur sekali. Sejak saat itu mulai melepas murid-murid les privat, sebab ingin fokus kuliah mengingat sempat berhenti satu tahun. 

Setelah masuk S3 berlanjut menikah dan memiliki anak. Tentunya tidak mudah menjalani peran sebagai istri, ibu, dan mahasiswa secara bersamaan. 

Disini ia berprinsip untuk mengasuh anak sendiri dengan suami dan tidak melibatkan orang lain. Memang cukup berat, namun ia yakin dapat menjalaninya.

Saat tahun kedua menjalani kuliah S3, Pandemi Covid-19 menyerang. Semua laboratorium di ITS, dan lembaga yang akan ia datangi ditutup. Rencana untuk melakukan penelitian sempat terhenti kurang lebih 6 bulan.

Waktu itu juga Vinda tidak dapat mengikuti program penelitian di Laboratorium luar negeri karena pembatasan ini. Akhirnya kelulusan menjadi molor, beasiswa hanya memberikan biaya kuliah dan hidup untuk mahasiswa S3 selama 3 tahun.

"Saya dan suami memutuskan untuk bekerja freelance dan mencari informasi pekerjaan WFH. Saya dan suami mendapatkan pekerjaan dari perusahaan luar dan mulai menabung untuk membayar SPP dan biaya hidup kami," jelasnya. 

Setelah masuk semester 8,  publikasi Internasional pertama  diterima pada bulan Februari yang merupakan syarat kelulusan). Pada beasiswa PMDSU mengharuskan jumlah publikasi karya ilmiah internasional sebanyak dua. Ia mulai memikirkan untuk menyelesaikan publikasi kedua sebelum bulan Juni. 

Sehingga pada saat mendaftar Magang di Laboratorium Shibaura Institute of Technology (SIT) Jepang selama satu bulan, ia mengambil hanya satu bulan, karena tidak ingin kuliah molor lagi.

Saat di Jepang juga menerima pengumuman bahwa karya tulis ilmiahnya diterima pada jurnal Internasional. Sehingga langsung mendaftra ujian pada akhir Mei dan berencana sidang disertasi setelah pulang dari Jepang bulan Juni. 

Namun perjuangan tidak sampai disitu, dari awal mendaftar sidang bulan Mei sampai Agustus masih belum menemukan jadwal dosen pembimbing dan penguji yang sesuai. Sehingga ibu yang mengurus administrasi menginformasikan ke dirinya bahwa kemungkinan tidak dapat lulus tahun ini.

Sidang  dijadwalkan pada tanggal 21 Agustus yang mana sudah terlewat dari tanggal data wisudawan yang harus masuk. Meskipun begitu, perempuan berusia 27 tahun ini tetap berdoa. Semoga dirinya masih bisa mengikuti wisuda pada bulan September 2023.

"Alhamdulillah seperti sebuah keajaiban, saya dan teman-teman yang lain diusulkan untuk mengikuti yudisium susulan sehingga dapat wisuda bulan September. Alhamdulillah juga saya dapat lulus dengan predikat Cumlaude, sesuatu yang saya impikan juga sejak S1," kenangnya.

Vinda mengaku, semua ini berkat dukungan dari keluarga kecil mulai suami dan anak, bapak dan ibunya. Lalu, adik-adik, kakak, dosen pembimbing yang sangat mendukung dan membantu. Tidak lupa Vinda juga berterimakasih dengan Bulek dan Paklik saya yang telah membantu dan mengantarkan saya untuk tes dan seterusnya.

Disinggung setelah lulus, ia ingin menjadi peneliti di Indonesia dibawah Lembaga penelitian BRIN. Karena memang sudah banyak lulusan beasiswa PMDSU ini yang menjadi peneliti. Ia memilih menjadi peneliti dan bukan dosen, melainkan merasa senang ketika melakukan penelitian-penelitian di laboratorium dan menciptakan karya-karya untuk kemajuan Indonesia.

Selain itu, ia juga bercita-cita setelah menjadi peneliti BRIN untuk ikut postdoctoral di negara lain. Postdoctoral adalah program penelitian di Laboratorium luar negeri. Dengan mengikuti ini, semoga ia bisa membalas juga jasa masyarakat Indonesia yang telah secara tidak langsung membantu kuliah dari jenjang S1 sampai S3.

"Saya juga sangat berterimakasih kepada pemerintah Indonesia dan tidak akan pernah lupa dengan jasa-jasanya," tandasnya.