KH Abdullah Sajjad, Sang Pejuang Kemerdekaan dari Bumi Sumekar

KH Abdullah Sajjad, Sang Syahid dari Bumi Sumekar
Sumber :
  • Ibnu Abbas

Jatim – Nama KH Abdullah Sajjad tentu tidak asing bagi masyarakat Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep. Secara garis nasab, KH Abdullah Sajjad merupakan keturunan dari Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shadiq. Lebih tepatnya putra dari KH Muhammad Syarqawi, pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Ia dilahirkan sekitar tahun 1890 Masehi.

Di masa kecil, Kiai Sajjad dididik langsung oleh Ibundanya, Nyai Mariyah binti Idris. Mulai dari ilmu Al-Qur’an hingga ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan umurnya. Namun demikian, tinggal di lingkungan pondok pesantren tidak membuat keluarga besar merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki. Karena itu, Kiai Sajjad kemudian melanjutkan pendidikannya ke berbagai pondok pesantren besar di Jawa Timur. Mulai dari Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan, Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren Sidogiri, Pondok Pesantren Pandji di Sidoarjo dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Setelah melalui proses panjang dalam menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren, Kiai Sajjad kemudian mengabdikan diri dan ilmunya dengan mendirikan Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee. Ia pun mulai mengajar Al-Qur’an dan beberapa ilmu agama kepada para santrinya.

Kiprah Kiai Sajjad tidak hanya sebatas di internal pesantren. KH Abdul Basith AS, salah seorang putranya yang masih hidup, menerangkan bahwa Kiai Sajjad juga turut terlibat dalam gerakan-gerakan sosial. Utamanya dalam membela dan mempertahankan tanah air saat Agresi Belanda di tahun 1947. Ia pun tak gentar tampil sebagai Ketua Pasukan Sabilillah di Sumenep.

“Di waktu Belanda ingin menguasai kembali Indonesia, sebagian besar hartanya dihibahkan untuk perjuangan melawan penjajah. Bahkan beliau menjadi Ketua Pasukan Sabilillah di Sumenep,” tulis KH Abdul Basith AS dalam sebuah buku Sekelumit Biografi KH Abdullah Sajjad.

Bahkan Kiai Sajjad meliburkan aktivitas belajar-mengajar di pesantren karena ditempati latihan pasukan Sabilillah yang akan menghadang kedatangan Belanda ke Sumenep kala itu. Berbagai Gerakan terus dilakukan untuk memutus akses kedatangan Belanda ke Sumenep. Meski pada akhirnya Belanda tetap berhasil masuk ke Sumenep mengingat dua kekuatan yang tak seimbang.

“Pada saat itu, Kiai Sajjad bersama para pasukan berusaha keras agar Belanda tidak masuk ke Sumenep. Jembatan yang menjadi akses jalan menuju ke Sumenep dirusak. Dengan senjata seadanya, mereka berusaha mati-matian mengusir tentara Belanda. Namun Allah SWT berkehendak lain, mereka berhasil masuk ke Sumenep,” tambahnya.

Kiai Sajjad bersama keluarga besar Annuqayah pun terpaksa mengungsi ke tempat tersebunyi yang lebih aman dan tidak terdeteksi oleh Belanda. Beberapa sumber terpercaya menyebutkan bahwa Kiai Sajjad dan Kiai Khazin Ilyas bersembunyi di kediaman Kiai Ahmad Bahar di Desa Karduluk.

Selang beberapa lama, atas kemauan Kiai Sajjad sendiri, ia pulang dari pengungsian dan hadir memenuhi undangan Belanda yang ternyata merupakan jebakan, siasat licik Belanda agar Kiai Sajjad menyerahkan diri. Hingga tepat di alun-alun Kecamatan Guluk-Guluk, Kiai Sajjad dieksekusi mati oleh Belanda.

“Dan ia gugur sebagai syahid,” kenangnya.

Selain sebagia Ketua Pasukan Sabilillah, Kiai Sajjad juga menjadi Kepala Desa. Namun sebagaimana dijelaskan Kiai Basith, ia bersedia masuk bursa pencalonan semata-mata untuk kepentingan dakwah. Kiai Sajjad pun terpilih menjadi Kepala Desa yang kemudian tak lama dari itu terjadi Agresi Belanda yang tidak terima dengan kemerdekaan Indonesia.

Hari Pahlawan, Pesantren Al Muslimun Gelar Dialog tentang Memerangi Kebodohan