Dukung Asta Cita Presiden, IHT Perlu Perlindungan Keberpihakan

Salah satu karyawan pabrik rokok sedang bekerja
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Tulungagung, VIVA JatimIndustri hasil tembakau (IHT) berada dalam tekanan dari sisi regulasi. Implementasi Pengamanan Produk Tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan implementasi Peraturan Daerah untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara menerangkan pemerintah bisa menjaga keseimbangan, mendorong daya saing pertumbuhan dan perlindungan IHT yang menjadi kelangsungan hidup sebanyak 6 juta tenaga kerja. 

Menurutnya bagian dari ekosistem pertembakauan, AMTI optimistis sekaligus mendukung capaian program Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Yaitu mendorong peningkatan ekonomi diangka 8 persen, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas. 

"Akan tetapi hingga sekarang berbagai regulasi yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Tekanannya bertubi-tubi bisa berdampak serapan pekerja dan menurunnya produktivtias petani yang menggantungkan kehidupannya pada IHT," ujar Ketut Budhyman Mudharat dalam keterangannya, Selasa, 11 Maret 2025.

Budhyman mengaku beberapa yang akan terimbas dampak adalah petani cengkeh, tembakau, pekerja manufaktur. Lalu, pedagang asongan, pedagang pasar, sampai pekerja kreatif. 

Budhyman menyayangkan bahwa peraturan yang sedang digodok Kementerian Kesehatan atau R-Permenkes terhadap Produk Tembakau, justru abai terhadap kontribusi ekosistem pertembakauan. Peraturan tersebut dirancang minim keterlibatan dan tidak mengakomodir masukan dari elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan. 

"Sebagai inisiator regulasi tersebut, kami menyayangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak berfikir ulang maupun mengkaji efek panjang rancangan aturan tersebut," keluhnya.

Terlebih, kondisi ekonomi sedang sulit seperti saat ini, PHK marak, pabrikan tutup, dan daya beli masyarakat turun. Apapun peraturan atau kebijakannya, wajib dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi serta melibatkan seluruh pihak terkait," jelasnya.

Budhyman melanjutkan dorongan kewajiban penyeragaman kemasan rokok polos dalam R-Permenkes ini sarat dengan pengaruh oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.

"FCTC juga bukan landasan hukum kita. Sehingga mengapa dalam menentukan arah kebijakan pertembakauan yang potensi dan kontribusinya begitu besar, harus berkiblat pada asing?" keluhnya. 

Dirinya juga menyoroti ada intervensi kepentingan asing dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. 

Beliau mengatakan pemerintah sudah bijak tidak meratifikasi FCTC mempertimbangkan rantai ekosistem pertembakauan di Indonesia sangat kompleks. Saling berkaitan mulai hulu hingga hilir, dan sangat berbeda dengan negara-negara yang menjadia acuan FCTC. 

"Janganlah sampai terkait kesejahteraan masyarakatnya sendiri, sampai kita harus diintervensi asing," jelasnya.

Ia membeberkan data pada 2024, IHT sudah menyumbang Rp 216,9 triliun ke dslam penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT). Kontribusi ini mencerminkan porsi lebih dari 10 persen dari total penerimaan pajak nasional, IHT telah menjadj salah satu kontributor besar bagi negara.

Akan tetapi, besarnya kontribusi IHT menurut Budhyman sangat penting dukungan pemerintah melalui peraturan yang adil. Peran serta para pemangku kepentingan di IHT adalah keniscayaan untuk mencapai tujuan tersebut. 

"Target yang menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional tentu akan sulit terwujud. Apabila salah satunya tidak ada perlindungan dan keberpihakan terhadap IHT," pungkasnya.