Ada 20 Catatan Dosen UIN SATU Tulungagung ke Buku 'Surat Cinta Gus Nadir'

- Viva Jatim/Madchan Jazuli
Tulungagung, VIVA Jatim – Dunia literasi masih menjadi oase tersendiri bagi pegiat cendekiawan. Salah satunya Gus Nadirsyah Hosen dari University of Melbourne yang menerbitkan buku 'Surat Cinta Gus Nadir : Ilmu, Iman, Kehidupan'.
Buku tersebut lantas dikomentari oleh salah satu Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung, Muntahibun Nafis. Ia juga sebagai Direktur Studi Pesantren UIN SATU Tulungagung ini memberikan catatan karangan Gus Nadir ke beberapa poin.
Beliau mengaku membaca sebuah karya seperti buku bukan sekadar bertujuan memahami isinya. Namun juga memulai dengan meng-eja kata perkata dan kalimat perkalimat bahkan tema pertema.
Membaca sebuah buku itu tentu hasilnya juga dipengaruhi dari karakter isi bukunya. Karena memang buku memiliki banyak ragam dan macamnya.
"Di sinilah dek, membaca buku Gus Nadir ini akan menemukan banyak sekali sensasi rasa. Seolah pembaca diaduk-aduk perasaannya karena pintarnya sang sutradara memainkan peran masing-masing," ujar Muntahibun Nafis, Rabu, 26 Maret 2025.
Nafis menggaris bawahi sekaligus mengklaim selaku pembaca yang awam. Berikut poin-poin yang bisa beliau tuangkan dan ia meminta maaf ke Gus Nadir jika komentarnya amatiran.
Pertama, secara teknis poin lebih buku tersebut penulis menggunakan diksi maupun bahasa yang ringan dan mudah difahami. Pasalnya tidak sedikit memakai bahasa kekininan.
Terbitannya tidak tebal, kertas bagus dan enak dibaca. Sehingga buku mudah dibawa ke mana saja, alasanya ringan dan ini menjadi hal penting untuk minat membaca.
"Kedua, sisi tema yang ditulis, menurut saya cukup beragam. Ada kalanya Gus Nadir membawa pembaca pada hal-hal yang berkaitan dengan sisi fundamental agama," ulasnya.
Pada saat lain dibawa pada hal yang memeras perasaan seperti calon pengantin baru yang berdebar-debar menunggu akad nikah. Bahkan penulis juga mebawa pembaca pada kedalaman pemahaman tasawuf.
"Ketiga, kedalaman isi dan substansi menandakan kedalaman ilmu penulis. Lalu, keempat kajian tasawuf yang mudah dicerna menunjukkan bahwa penulis bukan hanya pengajar ilmu tasawuf tetapi juga pengamal dan kategori guru tasawuf (modern)," ulasnya.
Selanjutnya, kelima kajian tema dalam buku Gus Nadir' menurut Nafis sangat komprehensif karena diambil dari berbagai sumber atau referensi ataupun kitab-kitab klasik dan modern.
Keenam, tak jarang Gus Nadir tidak mencantumkan referensi hal itu bukan nilai minus buku ini malah sebaliknya. Penulis merupakan refrensi itu sendiri, sebab memang semua untaian kata dan kalimat berbasis pada ilmu dan banyaknya pengalaman lahiriah dan batiniyah penulis sendiri.
"Ketujuh, setiap bagian akhir ada kalimat yang menarik bagi kaum hawa karena penulis selalu menyapa dengan bahasa yang indah," paparnya.
Kedelapan, Nafis menilai isi buku ibarat ia sedang kulakan bahan ceramah atau khutbah. Sehingga cocok bagi dai/daiyah baik milenial atau kolonial. Kesembilan, buku ini menjadi bahan materi bagi motivator karena banyak yang bisa dijadikan quotes atau kata mutiara.
Kesepuluh, saat Nafis hendak menandai kalimat-kalimat yang penting supaya mudah dibaca dan dihafalkan awalnya tidak ada masalah. Alhasil, mengalami kebingungan karena saya menemukan banyak kalimat penting.
"Sehingga hampir semua saya tandai dengan bahasa lain isinya daging semua," akuinya.
Dosen yang juga pernah sebagai Pengurus Cabang Lembaga Dakwah NU Tulungagung ini catatan kesebelas membaca buku ini tidak bisa diloncat-loncat. Misalnya dari paragraf satu pindah loncat ke paragraf tiga atau empat. Sebab akan sulit menemukan keutuhan pesan yang disampaikan penulis.
Kedua belas, Nafis mengakui kuatnya nilai nasionalisme yang terpendam dalam pesan penulis dalam buku ini. Lalu, ketiga belas penulis juga sering menguatkan pendapatnya dengan kajian dan riset yang ilmiah sehingga semakin kuat argumen yang dibangun.
"Keempat belas, penulis bukan hanya seorang akademisi dan ulama. Namun lebih dari itu juga sastrawan yang gaul dan 'ketjhe badai' terbukti guratan2 syair yang begitu apik nan indah," paparnya.
Kelima belas, Nafis mencoba membaca tema hampir akhir, saat Jibril bertemu kekasih maka tak terasa air mata menetes dan bulu kuduk merinding seraya terpampang jelas kejadian itu di kelopak dua mata Nafis.
"Di kalimat terakhir ada pertanyaan dari penulis. Tidakkah kalian juga merindukannya? Langsung pena yang saya pegang untuk menandai poin yang ku anggap penting dan ku tuliskan jawaban singkat 'Nggih Gus'," kata Nafis.
Keenam belas, ternyata tetesan air mataku sudah dimulai ketika membaca tema tentang Kisah Romantisme 'selimuti aku'. Dikatakan Nafis, pada saat bagaimana kejadian itu menimpa manusia yang menjadi kekasih Tuhan ini.
Ketujuh belas, catatan Nafis pembaca akan lebih bisa menemukan rasa dan pesan yang terkandung manakala membacanya sendiri. Karena tidak jarang akan sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca ketika sedang membaca buku.
Untuk poin kedelapan belas, pengalaman batin pembaca berpengaruh terhadap memahami isi dan makna serta merasakannya. Lalu, kesembilan belas, ada beberapa penulisan yang bisa dipertimbangkan kembali: penulisan 'di' bersambung tempat/waktu masih disambung. Ada kata sambung 'dan' terletak di awal kalimat.
"Kedua puluh, permohonan pribadi gus. Panjenengan nulis kitab-kitab tipis agar bisa kami kaji ketika ramadan, misal tematik akhlak, tasawuf, fiqh yaumiyyah atau waqi’iyyah dan lainnya," pungkas Nafis.