Prof Nuh: Idul Adha dan Ibadah Haji Ajarkan Semangat Menang Bersama

Salat Idul Adha di Masjid Al Akbar Surabaya
Sumber :
  • Nur Faishal/Viva Jatim

Jatim – Momentum Idul Adha dan Ibadah Haji di Tanah Suci adalah ibadah yang penuh pergerakan. Sangat dinamis dalam dimensi ruang dan waktu, yang bukan dilakukan individu. Melainkan pergumulan dan interaksi antar jemaah melalui kolaborasi-sinergi atau semangat ke-Kita-an, yakni menang bersama.

Hal itu diungkapkan Ketua Badan Wakaf Indonesia dan Ketua Majelis Wali Amanat ITS, Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, saat menjadi khatib Salat Idul Adha di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Mengusung tema Membangun Generasi yang Sholeh dan Ke-Kita-an, Kamis, 29 Juni 2023.

“Semangat taawun (saling membantu-kolaborasi-sinergi) dan ego sentris seringkali berbenturan dalam prosesi haji tersebut, dan itulah fakta dan realitas kehidupan. Memang ada filosofi yang berbeda antara kompetisi-lomba (musabaqoh) dan kolaboratif-sinergis (mu’awwanah),” katanya.

Dalam berlomba-lomba untuk meraih kemenangan memang harus mengalahkan yang lain, sehingga jargon utamanya adalah indeks daya saing. Namun, sangat berbeda dengan kolaboratif-sinergis. Untuk menjadi terbaik tidak harus mengalahkan yang lain, tetapi bisa menang bersama, sukses bersama dengan besaran kemanfaatan yang ditentukan besarnya kontribusi dalam kolaborasi.

“Itulah esensi kolaborasi-sinergi dalam meraih kemenangan dan kesuksesan. Esensi ke-kita-an lebih dominan dibanding ke-aku-an. Nahnu-isme lebih dominan dibanding Ana-isme, apalagi prosesi ibadah haji tidak mengenal perbedaan berdasar unsur primordial (suku, ras, bangsa, profesi, status sosial), yang ada hanya hamba dan tamu Allah,” tambahnya.

“Tentu, harapan kita adalah bagaimana kita bisa melakukan transformasi dari ‘saya’ atau ‘aku’ menjadi ‘kami’, dan ‘kami’ menjadi ‘kita’. Yakinlah, kedahsyatan akan diperoleh dalam bingkai KITA (Power of WE). Kekitaan sebagai spirit (value), sedangkan gotong royong dengan prinsip kesalingan (mutuality) sebagai aksinya,” katanya.

Mantan Mendiknas itu menjelaskan semangat ke-kita-an dan gotong royong yang dirintis oleh pendiri Bangsa dan Negara Indonesia, bukanlah sesuatu yang didapat secara serta merta (given), tetapi melalui proses yang panjang, kompleks dan berat.

“Tidakkah, salat berjamaah memiliki nilai yang jauh lebih besar dibanding sholat sendirian. Dan tidakkah, mendahulukan kepentingan umum, dibanding kepentingan diri, termasuk bagian dari kemuliaan dan pengorbanan,” kata Mustasyar PBNU itu.

Berangkat dari titik persamaan, dikembangkan menjadi garis, bidang dan akhirnya menjadi ruang persamaan. Proses lahirnya NKRI, Pancasila dan UUD 1945, menurutnya, tidak lain adalah hasil dari semangat persamaan dan ke-Kitaan. Bukan semangat perbedaan dan ke-Akuan.

"Tugas kita adalah menciptakan sebanyak-banyaknya ruang persamaan dan merawatnya dengan baik. Mulai dari kesamaan sebagai manusia ciptaan Allah (ukhuwah basyariyah), sesama warga bangsa (ukhuwah wathonyah), sesama umat Islam (ukhuwah Islamyah) dan titik-ruang persamaan lainnya,” katanya.

Selain Ibadah Haji, setiap kali memasuki bulan Dzulhijjah, juga diingatkan tentang pentingnya meneladani Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, terkait pentingnya menyiapkan generasi yang memiliki keutuhan kompetensi sikap (attitude), ketrampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge).

“Generasi yang memiliki keutuhan kekuatan logika (kebenaran), etika (kebaikan) dan estetika (keindahan). Itulah nilai keteladanan yang luar biasa, yang bisa kita ambil, diantaranya pentingnya hujjah atau pola pikir berbasis rasionalitas, pola pikir terbuka (open mind) di dalam proses mencari kebenaran. Juga, pentingnya membangun dalam skala dzurriyat (generasi bergenerasi), yang berbasis pada tiga hal, yakni tilawah (skills), ta’allim (knowledge) dan tazkiyah (attitude), sebagaimana do’a Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail [QS: 2:129],” katanya.

Dalam hadits-nya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan amalan yang memiliki nilai kemanfaatan sewaktu di dunia sampai di akhirat adalah sedekah jaryah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang sholeh yang mau mendoakan orang tuanya. Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS juga mengajarkan kepatuhan sang anak kepada orang tuanya.

“Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang selalu mendo`akan orang tuanya,” (HR. Muslim).

Menarik sekali, sabda Rasulullah Muhammad SAW itu menggunakan kata sambung (أَو ) yang artinya atau, bukan (و) yang artinya dan, sehingga ketiga amalan tersebut bersifat ‘independen’. Seseorang bisa jadi hanya memiliki satu atau dua diantara ketiga amalan tersebut, namun menjadi sempurna apabila memiliki ketiganya.

“Urutannya pun dimulai dari sedekah jaryah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan. Sedekah jaryah (wakaf) memang yang paling mudah untuk dilaksanakan. Faktor diri sendiri sangat dominan, sedangkan ilmu yang bermanfaat memiliki proses yang panjang yang melibatkan banyak orang (guru, kyai, praktisi, dan sebagainya), atmosfer dan fasilitas pendukung lainnya. Dan ultimate goalnya adalah anak sholeh yang mendoakan. Ini yang paling rumit, melibatkan banyak pihak dan lintas dimensi,” katanya.

Menjadi keyakinan bersama bahwa meskipun kita telah meninggal dunia, ada tiga hal yang terus memiliki nilai manfaat yaitu sodaqoh jaryah (wakaf), ilmi yang bermanfaat atau anak yang sholeh yang mendoakannya. Ketiganya membentuk segi tiga yang saling terkait (intercausality) dengan anak yang sholeh sebagai puncaknya.

“Menjadi tugas utama kita untuk menyiapkan orang yang sholeh tersebut sampai pada level generasi (dzurryat). Begitu jumlah orang jahatnya lebih besar dari orang baik (sholeh) maka rusaklah tatanan kehidupan kita. Untuk itu, harus disiapkan sumberdaya yang bersifat strategis pula, bukan sumberdaya yang bersifat taktis,” katanya.

Nuh berharap Masjid Nasional Al Akbar Surabaya sebagai salah satu Masjid terbaik di negeri ini, kini saatnya meningkatkan perannya sebagai pengelola sumberdaya strategis yang terbaik.

“Rasulullah SAW pernah bersabda: ‘Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam, Sunnah yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam Sunnah yang jelek maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti mereka sedikitpun’ (HR. Muslim no. 1017),” katanya.

Sebagai informasi, Sholat Idul Adha di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dihadiri oleh Gubernur Jatim Hj Khofifah Indar Parawansa, Wakil Gubernur H Emil Elestianto Dardok, jajaran Forkopimda dan 40 ribu jamaah lain.