Cerita Kapolri Jenderal Hoegeng Jual Sepatu Tak Laku-laku

Kapolri Jenderal Hoegeng
Sumber :
  • Buku autobiografi 'Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan'/Pustaka Sinar Harapan/Viva.co.id

JatimKapolri kelima (1968-1971) Jenderal Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai tokoh Polri yang jujur dan sederhana. Dia diketahui ogah memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dan keluarganya. Ada banyak cerita yang menggambarkan tentang kesederhanaan dan kejujuran Jenderal Hoegang itu.

Pesan Khusus Kapolri Usai Peristiwa Pembacokan Saksi Paslon di Sampang

Salah satunya cerita tentang Hoegeng menjual sepatu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kisah itu dibeberkan Soedharto Martopoespito, mantan sekretaris Hoegeng saat menjadi Menteri Sekretaris Presidium Kabinet periode Maret hingga Juli 1966, yang ditulis Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan.

Meski hanya lima bulan bersentuhan di tugas resmi, di masa selanjutnya keluarga Dharto dengan Hoegeng tetap berhubungan baik, hingga Hoegeng menjadi Kapolri di masa peralihan antara Orde Lama dan Orde Baru. Selama bersentuhan dengan Hoegeng itulah Dharto menjadi salah satu saksi kejujuran dan kesederhanaan Hoegeng.

Pengamanan Sampang Dipertebal Usai Insiden Pembacokan Saksi Paslon Pilkada

Diceritakan di buku tersebut, satu waktu Dharto melihat sopir Hoegeng, Aco, murung. Aco datang selepas mengantarkan tuannya ke kantor. Dharto yang penasaran lantas bertanya apa gerangan yang membuat Aco bersedih. Ternyata, Aco murung karena belum berhasil menjalankan amanat Hoegeng agar menjualkan sepatu ke pasar loak di Pasar Rumput, Manggarai. Ditawarkan ke pedagang tak laku-laku.

Salah satu alasannya, sepatu yang diminta Hoegeng agar dijualkan adalah, sudah sepatu bekas dan ukurannya terlalu besar, juga bukan produk terkenal. Pedagang pasar loak berpikir akan membeli sepatu bekas yang mudah dan cepat dijual kembali. Kriteria itu tidak ada di sepatu Hoegeng yang akan dijual sehingga tak laku-laku.

Semua Pelaku Pembacokan Saksi Paslon Pilkada Sampang Diburu, Kata Kapolda

Dharto pun berinisiatif untuk membantu dengan menghubungi Sekretaris Menteri Negara Komisaris Besar Polisi Boegie Soepeno dan Ajun Komisaris Besar Polisi Totok Soesilo yang diperbantukan sebagai sekretaris menteri. Totok juga pengusaha pengolah ulang karet di Medan. 

Sebelum inisiatif itu dilancarkan, Dharto berpesan kepada Aco, Kombes Boegie dan AKBP Totok agar Hoegeng jangan sampai tahu soal itu sehingga tetap merasa jika sepatunya dibeli pedagang pasar loak. Totok akhirnya membeli sepatu Hoegeng seharga sepatu baru merek terkenal saat itu, Rp1.200. Waktu itu angka tersebut setara satu bulan gaji Dharto.

Uang tersebut lantas diberikan kepada Aco agar diserahkan kepada Hoegeng. Sebelum berangkat, Dharto berkali-kali mengingatkan Aco agar tidak bercerita jika sepatunya dibeli oleh Totok atas inisiatif dirinya. Jika terpaksa bercerita, Dharto menyampaikan agar Aco mengatakan bahwa sepatu tersebut dibeli oleh selain Dharto. 

Keesokan harinya, Hoegeng mendadak datang ke kantor Dharto dan langsung memeluk sambil menyampaikan terima kasih dengan kalimat, “Ampera…Ampera.” Ampera adalah singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat yang saat itu menjadi slogan politik terkenal, kerap dipakai sebagai penyemangat untuk memperjuangkan rakyat susah.

Cerita itu baru disampaikan Dharto kepada pihak keluarga Hoegeng pada tahun 2013, setelah polisi jujur itu meninggal dunia. Dari situ juga diketahui bahwa Hoegeng juga mengajarkan anak-anaknya tentang kejujuran dan kesederhanaan secara ketat.