Jadi Rebutan Pengaruh, Pengamat Unair: Jokowi Sepatutnya Memegang Etika Politik
- Istimewa
Surabaya, VIVA Jatim – Presiden Jokowi menjadi magnet rebutan pengaruh sejumlah partai dan calon presiden (capres) menjelang Pilpres 2024. Sejumlah kalangan menilai Jokowi memanfaatkan posisinya itu dengan melakukan manuver mengayun dalam merangkul para kandidat, terutama Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Padahal, sepatutnya Jokowi berpegang pada etika politik, yakni menunjukkan dukungannya pada kandidat partai ia bernaung.
Hal itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi, Selasa, 5 September 2023. Sepertinya, lanjut dia, Jokowi menyadari posisinya yang menjadi magnet rebutan pengaruh itu. “Mengingat tingkat kepuasan yang sangat tinggi dari publik terhadap Presiden Jokowi berkisar pada angka 82 persen di akhir kepemimpinannya,” katanya.
Dengan posisi seperti itu, Jokowi memainkan perannya dengan harapan kontestasi Pilpres 2024 minim polarisasi dan relatif stabil dan kondusif. Jokowi tak ingin benturan keras terjadi seperti pilpres sebelumnya. Itu sebabnya Jokowi menunjukkan kedekatannya dengan bakal capres dari PDIP, Ganjar Pranowo, dan di sisi yang lain menjalin hubungan yang baik dengan bakal capres jagoan Gerindra, Prabowo Subianto.
Di luar dari kepentingan itu, Airlangga berpendapat bahwa Jokowi sebaiknya juga mengedepankan etika dalam menentukan langkah politiknya. Bagaimana pun, lanjut dia, Jokowi adalah kader PDIP yang, karena menjadi kendaraan yang mengantarkan Jokowi menjadi pemimpin publik sejak Wali Kota Solo hingga presiden, secara otomatis menjadi partai yang menyerap agregasi kepentingan dan aspirasi publik.
Artinya, PDIP merupakan rumah politik asal daripada Jokowi. Karena itu, Airlangga berpendapat Secara etika politik maka pilihan politik yang pada ujungnya akan diambil oleh Jokowi adalah mendukung bakal capres yang diusung PDIP, bukan kandidat yang diusung oleh partai di luar PDIP.
Airlangga lantas membandingkan dengan pilpres di Amerika Serikat yang sama-sama menerapkan sistem presidential seperti di Indonesia, meskipun bukan multipartai.
“Adalah mustahil dan tidak etis, misalnya, jika Barrack Obama dalam Pilpres 2016 tidak mendukung Hillary Clinton, malah mendukung Donald Trump. Atau sebelumnya Bill Clinton mendukung Al Gore dan tidak mendukung George W Bush. Mereka pasti mendukung kandidat dari partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat AS,” ujar Airlangga.