Kupatan Durenan Trenggalek Sudah Ada Sejak 2,5 Abad Silam

Keturun kelima dari Mbah Mesir, Gus Izudin.
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Trenggalek, Jatim – Tradisi yang masih turun temurun tetap dijaga sampai h+7 Hari Raya Idul Fitri di Desa/Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek adalah 'Kupatan'. Tradisi anjang sana dengan suguhan ketupat, baik orang yang kenal atau tidak harus makan hidangan pemilik rumah.

Tradisi ini sudah berjalan sekitar 2,5 abad silam. Yang mana dahulu bermula pada masa Mbah Masir atau yang lebih dikenal Mbah Mesir. Keturun kelima dari Mbah Mesir, Gus Izudin mengatakan bahwa awal mula kupatan dari daerah durenan berangkat dari kebiasaan Mbah Mesir, karena beliau biasa menjalankan Puasa Sunnah Syawwal selama 6 hari setelah 1 Syawal.

Kedua, karena tradisi juga di hari kedua sampai kelima setelah lebaran menurut Gus Izudin biasanya Mbah Mesir diminta untuk ada kunjungan biasanya karena sambung silaturrahmi dengan Bupati Trenggalek. Membersamai sang bupati selama beberapa hari untuk menerima tamu di pendopo, baru setelah itu kembali ke Durenan menerima tamu.

"Akhirnya beliau berpesan kepada para santri dan masyarakat, jik silaturrahmi kepada beliau di waktu tanggal 8 syawwal," ujar Gus Izudin ditemui dikediamannya, Senin, 15 April 2024.

Ketupat sebelum dimasak, terbuat dari janur atau daun kelapa muda

Photo :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo 1998 dan mondok selama 9 tahun ini mengatakan bahwa kupatan sendiri sebenarnya hanya fokus hasnya sebatas di keluarga Mbah Mesir. Jadi belum menyebar sampai sekarang ini yang sudah meluas ke desa sebelah, kecamatan, satu wilayah Trenggalek, bahkan ke tetangga kabupaten.

"Perkiraan tahun ya kuran lebih 300 tahunan yang lalu 250an sampai 300 tahun yang lau. Sebagian pendapat umurnta mbah mesir itu orang yang usianya panjang ada yang menyamaikan seperti itu," bebernya.

Gus Izudin menambakan bahwa kupatan pada zaman Mbah Mesir, situasi Durenan masih sepi. Tujua bersilaturahmi dan menyediakan ketupat hanya di Mbah Mesir. Usai meninggal, diteruskan oleh sang putra yaitu Kiai Mahyin.

Sementara Kiai Mahyin memilki putra yang juga dilanjutkan oleh Kiai Muin, Kiai Muh Kedungbajul serta Haji Kabil. Tiga tokoh ini yang menjadi pusat jujugan warga Durenan dan sekitarnya saat Hari Raya Ketupat H+7.

"Itu sekitar tahun 1975 sampai 1980an masih fokus disitu, setelah beliau-beliau wafat dteruskan oleh ketupat mulai menyebar mulai memasyarakat di desa-desa. Sampai 2000 sudah menyebar di di kecamatan sampai kabupaten yang diteruskan Kiai Fattah Muin," terangnya.

Gus muda yang pernah mengabdi di Pondok Zainul Hasan Genggong ini mengaku bahwa tidak bisa Kupatan di Durenan terus disaingi oleh daerah lain oleh orang-orang yang ikuit merayakan.

Hal ini lantaran tidak keluar dari pendiri kupatan di Durenan. Karena alasan murni berangkat dari silaturrahmi, silaturahmi kiai dan santri maupun masayarakat ke kiai.

Menurut Gus Izudin pembeda dengan daerah lain karena latar belakang dari ketulusan. Hubungan antara masyarakat dengan sang kiai, santri dan kiai. Maka niat silaturrahmi ini yang akan tetap menjadi pegangan.

"Sebuah tradisi kalau berangkat dari sebuah ketulusan, karena lillahi taala tidak akan terusik dengan perkembangan zaman yang berjalan," imbuhnya.

Beliau menerangkan memang Hari Raya Ketupat ada yang ingin merekayasa di beberapa tempat. Termasuk di kawasan trenggalek sendiri dengan membuat acara tersendiri dengan gegap gempita.

Namun, Gus Izudin mengatakan apapun acara hiburan atau tidak ada, tidak akan meruntuhkan radisi yang di Durenan berupa kupatan. Silaturahmi menjadi sebuah ajang rutin setiap tahun.

"Tradisi ketupat dengan silaturahmi adalah sarana untuk kita minta maaf kepada saudara dan guru yang kaitannya dengan hubungan sesama atau haqul adami," ujarnya.

Gus muda yang juga Pengurus MWCNU Durenan ini mengatakan setelah satu bulan penuh membersihka diri hubungan dengan Allah, momen kupatan ini hubungan terhadap sesama.

Terpisah, salah satu warga asli Durenan, Mochamad Cholid Huda mengatakan bahwa bagi warga Durenan yang penting adalah budaya suka silaturrahmi. Pihaknya ingin melestarikan budaya bahwa orang Durenan suka bersilaturamni.

"Tidak berrfikir habis berapa, dana berapapun untuk menjamu dan hormat tamu. Bagi masyarakat Durenan tetap bahwa budaya durenan ya itu," ujar Huda.

Ia masih teringat saat dulu awal-awal masih kecil sekitar tahun 1980an belum banyak kendaraan, orang-orang sowan hanya ke kiai di Pondok Babul Ulum dan keluarga atau dzurriyah pondok. Selain berjalan kaki, banyak juga yang naik sepeda ontel dari berbagai penjuru untuk ke Durenan.

Dalam menghormati tamu, pihak pondok pun menyediakan makanan ketupat sejumlah ribuan. Sehingga santri-santri satu hari sebelumnya harus menyediakan ketupat dikerjakan secara bersama-sama untuk menghormati tamu.

"Ada yang dari Kecamaan Panggul, malam sudah nginep di pondok. Makanya lantas disediakan makan, cepat dan mudah yaitu ketupat, dulu santri bikin ribuan semua bikin bareng," ujarnya.