Mengenal Batik Ulur Wiji, Brand Lokal Mojokerto yang Go Internasional

Pembatik Ulur Wiji di Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto
Sumber :
  • VIVA Jatim/M Luthfi Hermansyah

Mojokerto, VIVA Jatim – Pamor batik kini semakin bersinar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kesempatan ini membuka peluang bagi anak bangsa berkreasi membuat berbagai motif batik yang kekinian. 

Salah satunya adalah Nasta Rofika, 33 tahun. Nesta membuat batik tulis yang diberi nama batik Ulur Wiji. Berbeda dengan batik-batik yang sudah familiar di masyarakat, batik Ulur Wiji ini memilik corak motif yang berbeda.

Batik Ulur Wiji diproduki oleh ibu-ibu muda di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto. Berkat keuletan dan ketekunan Nesta, batik Ulur Wiji telah diminati pasar internasional, seperti Kanada, Jepang, Australia, Malaysia, dan Hongkong. 

Nasta mengatakan, motif batik Ulur Wiji tidak ada corak kedaerahan, seperti batik Madura dan Pekalongan yang memiliki ciri khas dan pakem tersendiri dalam pembuatannya. 

Ia menghadirkan batik Ulur Wiji dengan trend fasyen modern saat ini. Sehingga generasi muda lebih antusias mengenakannya. Di era sekarang batik tidak hanya dikenakan pada acara seremonial, tetapi juga digunakan dalam acara informal dan santai oleh kaum millennial. 

“Kita mengajak anak muda mencintai budaya melalui fasyen modern. Kami ingin anak muda lebih mencintai batik tulis, bukan batik printing atau sablon. Niat kita untuk nguri-nguri (melestarikan) budaya,” kata Nesta saat ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi tempat produksi batik Ulur Wiji, pada Sabtu, 25 Mei 2024.

 

 

CEO Ulur Wiji, Nesta Rofika menunjukkan pakaian batik Ulur Wiji

CEO Ulur Wiji, Nesta Rofika menunjukkan pakaian batik Ulur Wiji

Photo :
  • VIVA Jatim/M Luthfi Hermansyah

 

 

Motif batik Ulur Wij ini mengambil corak tanaman dan kegiatan masyarakat desa. Di antaranya, motif angon, tandur, dan galaksi. Terbaru, Nasta memproduksi batik dengan tema cerita rakyat bawang merah bawang putih. Warna yang digunakan pada batik ulur wiji cenderung terang, seperti merah, kuning, hijau, biru, putih, dan oranye. 

Batik Ulur Wiji dibuat dengan teknik yang cukup tradisional. Bahkan diproduksi menggunakan pewarnaan alami. Bahan alam yang digunakan ada dari kayu jolawe untuk menghasilkan warna kuning, katu tegeran untuk warna kuning cerah (ngejreng), kayu mahoni untuk warna merah dan campuran hitam dan bahan lainnya. 

Meski bahan-bahan pewarna tersebut tak asing lagi, alumnus Teknik Lingkungan ITS ini riset lebih dulu untuk menghasilkan warna yang serasi. 

“Proses (pewarnaan) umumnya celup, namun kalau pewarna alam lebih rumit. Berbeda dengan pewarna sintesis tinggal sekali celup, sudah jadi. Kalau alami, misalkan mau membuat warna biru gelap bisa sampai 50 kali celupan, maka tidak heran kalau mahal, kita riset juga,” ungkapnya. 

Sebelum melalui proses pewarnaan kain dicuci lebih dulu atau disebut teknik pre-mordanting. Proses pre-modating ini untuk menetralkan zat kapur yang nempel pada kain. Setelah itu kain digambar motif, lalu dibatik, kemudian kain akan diwarnai menggunakan pewarna alam. 

“Dalam sehari bisa menghasilkan 12 kain. Kalau ngebut bisa sampai 20 kain. Kalau sebulan  sekitar 100 - 150 kain,” ujar Nesta. 

Bahan kain yang digunakan batik Ulur Wiji ada beberapa jenis. Antara lain, tansel, rayon, linen, katun, sutra. Ibu tiga anak ini mengungkapkan, jenis kain yang paling diminati tansel dan linen, karena ramah lingkungan. 

Khusus batik berbahan kain sutra, ia sendiri produksi dengan jika ada pesanan khusus. Sebab, harga kain sutra sendiri terbilang cukup mahal, Rp 150 - 250 ribu per meter. Harga jual batik Ulur Wiji berbahan kain sutra bisa mencapai Rp1,2 juta. 

“Ketentuan harga berdasarkan bahan dasar dan motif. Paling diminati kain tansel sama linen. Sedangkan motif yang galaxi paling laris,” terangnya.

 

 

Proses menggambar motif batik  Ulur Wiji

Proses menggambar motif batik Ulur Wiji

Photo :
  • VIVA Jatim/M Luthfi Hermansyah

 

 

Tidak hanya produk kain batik, Ulur Wiji juga memproduksi baju batik berbagai model. Seperti kebaya, tunik, blouse, kaftan, dress, kemeja, dan hijab.

Nesta merintis usaha batik Ulur Wiji sejak tahun 2019. Ia memberdayakan perempuan-perempuan Desa Pandan Krajan. Hal itu selaras dengan visi dan falsafah nama Ulur Wiji, yakni menabur benih kebaikan. 

“Sesuai dengan visi kami, kami ingin memberikan kesempatan bagi perempuan-perempuan  di desa ini mencari penghidupan, ekonomi, menyalurkan  bakat. Mereka di sini bisa berkarya,” ujar istri dari Joko Santoso itu.

Di awal-awal, Nesta sendiri yang mengajari cara membatik dan menjahit kepada perempuan-perempuan di desanya. Karena dulu dirinya sempat sekolah fashion di Surabaya, mengikuti seminar textil, dan belajar batik di Semarang. Kini, sedikitnya ada 12 orang yang setiap hari bekerja d isana. 

“Kita latih mulai dari nol dengan gaji yang layak. Meski belum UMR  tapi layak untuk ukuran warga sini. Paling tidak bisa memenuhi standart kelayakan hidup di sini kita penuhi. Kita juga fasilitasi mereka dengan BPJS,” katanya. 

Sebagai pendatang baru kala itu, ia kesulitan memperkenalkan produk. Berbagai cara dilakukan mulai dari masuk ke instansi pemerintah, ikut pameran dan memanfaatkan jaringan yang ada.

Media sosial pun dimanfaatkan untuk memperkenalkan batik Ulur Wiji hingga ke pelosok negeri. Melalui akun Instagram @ulurwiji mengunggah kain batik Medan dengan berbagai motif.

Setelah batik ulur mulai dikenal, perlahan orderan pun tiba. Dia tetap mengutamakan kualitas agar pembeli tidak kecewa. 

Meski terbilang anyar mewarnai pasar batik Indonesia, batik Ulur Wiji tercatat telah sebagi finalis terbaik dalam ajang Apresiasi Kreasi Indonesia (AKI) 2023 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). 

Tak hanya itu, Ulur Wiji juga tercatat sebagai juara 1 Kategori Berdaya dari program Talenta Wirausaha yang digelar oleh PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).

Sejauh ini, lanjut Nesta, batik Ulur Wiji tak hanya merambah pasar nasional, melainkan bahkan telah melanglang buana ke mancanegara. Seperti Kanada, Paris, Jepang, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Australia. 

Nesta mengatakan, pasar luar negeri lebih suka membeli batik Ulur Wiji dengan warna-warna cerah. Berbeda halnya dengan orang Jawa yang cenderung menyukai warna batik gelap. Kini, omzetnya dalam sebulan tidak kurang dari Rp 50-60 juta. 

“Kanada, satu dan dua bulan sekali kirim berupa kain 1 sampai 5 lusin. Kalau ke Paris untuk sovenir nikahan dibuat bandana. Bulan Agustus (2024) nanti ke Australia untuk ikut Australia award,” pungkasnya.