Akademisi Nilai Perubahan KUHAP Untungkan Pelaku Kejahatan
- Istimewa
Surabaya, VIVA Jatim-Akademisi Universitas Tarumanegara (UNTAR), Hery Firmansyah turut menyoroti rencana perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia berharap pasal yang diubah merupakan yang relevan. Menurutnya jangan sampai perubahan satu pasal menimbulkan persoalan dalam implementasinya.
Hery mengingatkan pasal yang dibuat jangan sampai hanya untuk mengakomodir kepentingan elite. Ia menilai salah satu isu yang seksi untuk dibahas adalah berkaitan dengan sentral penegakan hukum yaitu masalah kewenangan penyidikan serta batasan yang diatur di dalamnya.
"Kita tak ingin pasal yang dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan elite yang kemudian akan menjadi dosa jariyah setelahnya," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 9 Februari 2025.
Ia mengungkapkan, batasan ini kemudian membedakan fungsi dan kerja antar instansi penegak hukum. Jika dicermati hal tersebut sudah diatur secara lugas oleh KUHAP yang masih berlaku dan saat ini sebagai norma hukum positif.
"Ini yang menurut saya pribadi tentunya sudah difikirkan secara arif dan bijaksana dengan matang oleh pembentuk UU saat itu. Dengan alasan agar saling tidak terjadi overlapping antar tugas penegak hukum dan menghadirkan profesionalitas," ungkapnya.
Ia menambahkan, hal ini membuat suatu iklim penegakan hukum yang menjalankan mekanisme check and balances pada akhirnya bermuara pada kemunculan masalah keseteraan dalam sistem peradilan pidana yang dijalankan.
Hery menuturkan, secara pribadi ia sepakat dengan pasal KUHAP yang diadopsi saat ini. Asas diferensiasi fungsional yang mengatur secara rapi dan sangat profesional penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana yang sifatnya terpadu.
Ia menganggap bahwa kerja masing-masing penegak hukum ini sesuai dengan fungsinya, bahwa penyidikan ada di kepolisian. Sementara, penuntutan di kejaksaan. Lalu kegiatan memeriksa, mengadili serta memutus perkara ada di kewenangan ranah kehakiman.
"Semuanya bermuara pada satu tujuan yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Ia belum melihat perlu adanya kewenangan tambahan pada salah satu aparat penegak hukum (APH). Ini dikarenakan akan terjadi persoalan baru diranah praktiknya. Ini juga akan ada dualisme pandangan yang akan menimbulkan ego sektoral.
Menurutnya, ini akan semakin memperuncing dan merugikan penegakan hukum itu sendiri. Akhirnya, hal ini akan menguntungkan bagi pelaku kejahatan.
"Tidak ada kepastian hukum membuat pelaku kejahatan semakin leluasa menjalankan aksi kejahatannya," ujarnya.
Ia menyadari perlu adanya perubahan pada KUHAP karena sudah berjalan 44 tahun digunakan. Kendati demikian revisi KUHAP tentu tak boleh dilakukan secara serampangan dan emosional.