Pentingnya Pengendalian Kecerdasan Buatan lewat Regulasi
- Istimewa
Surabaya, VIVA Jatim – Hadirnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mengharuskan adanya regulasi yang mengatur agar tidak dikembangkan secara liar. Uni Eropa misalnya yang berencana menggodok Undang-undang untuk meregulasi AI mulai sejak 14 kemarin di Parlemen Eropa, Strasbourg, Prancis.
Kendati begitu, perdebatan pun terjadi. Baik di internal parlemen itu sendiri maupun dari pihak pengelola AI, seperti ChatGPT dan OpenAI. Mereka menilai kehendak untuk meregulasi itu sangatlah berlebihan.
Open AI berdalih bahwa bila diberlakukan aturan yang begitu ketat, tentu akan mendorong perusahaan AI untuk pindah dari Benua Biru. Meski pernyataan ini kemudian ditarik oleh CEO OpenAI, Sam Altman. Menurutnya, kecerdasan buatan memang perlu diregulasi, tapi membutuhkan kejelasan.
Saat ini, Sam Altman kabarnya sedang giat melobi politik di Uni Eropa untuk mencegah disahkannya regulasi yang terlalu ketat, termasuk bertemu Kanselir Jerman, Olaf Scholz, di Berlin.
Derasnya lobi oleh OpenAI dan induk perusahaannya, Microsoft, dan ancaman untuk hengkang dari Eropa ditanggapi dingin oleh Anggota Legislatif Uni Eropa, Rene Repasi.
Ia mengatakan, pasar Eropa terlalu menguntungkan bagi pengelola kecerdasan buatan (AI), sehingga mustahil untuk diabaikan.
"Siapa pun yang ingin menawarkan jasa AI di sini (Uni Eropa), maka harus mengelolanya sesuai standar yang kami tetapkan," kata Repasi, dikutip dari VIVA, Jumat, 16 Juni 2023.
Ia bersama anggota Parlemen Uni Eropa memastikan, regulasi yang sedang digodok tidak akan menghalangi perusahaan untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan.
"Bahwa ada banyak raksasa teknologi yang berasal dari AS, lebih berkaitan dengan monopoli pasar ketimbang di mana inovasinya diciptakan," jelasnya.
Diperkirakan, regulasi yang disusun Parlemen Eropa baru akan disahkan menjadi undang-undang pada 2025. Selain parlemen, RUU juga harus disetujui oleh Dewan Uni Eropa yang beranggotakan perwakilan pemerintah ke-27 negara anggota.
Menurut Anggota Parlemen Uni Eropa, Axel Voss, tenggat tersebut berpotensi terlambat mengingat laju perkembangan teknologi AI yang pesat.
"Pengembangannya sedemikian cepat, ada banyak butir regulasi yang akan kedaluarsa ketika UU ini mulai berlaku nanti," tutur dia.
Voss adalah politisi konservatif dan ikut mengepalai tim ad-hoc yang menyusun naskah RUU. Dia termasuk yang menolak larangan bagi teknologi AI di Uni Eropa.
Sebaliknya, Rene Repasi yang berasal dari Partai Sosial demokrat, mendesak agar naskah RUU bersifat lentur agar bisa mencakup perkembangan di masa depan.
Peringatan seputar konten AI yang berisiko selayaknya tidak dicantumkan di dalam RUU, kata Repasi, melainkan dalam bentuk panduan, sehingga mudah diperbaharui di kemudian hari.
Artikel ini telah tayang di VIVA.co.id dengan judul Mengendalikan Kecerdasan Buatan