Kecerdasan Buatan tak Miliki Rasa seperti Jurnalis dalam Meliput Berita

Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Kediri, VIVA Jatim – Perkembangan teknologi mutakhir menjadi perbincangan hangat. Termasuk bagi insan media yang sudah ada teknologi artificial intelliegence (AI) yang bisa diperintah membuat berita secara cepat.

Penjambret Mahasiswi UINSA Surabaya hingga Tewas Terlindas Mobil Akhirnya Ditangkap

Namun Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida masih memiliki optimisme karena bisa dilakukan jurnalis tapi AI belum bisa.

Perempuan asal Aceh yang baru terpilih sebagai ketua organisasi profesi jurnalis di Palembang pada Mei 2024 silam ini mengaku yang tidak dimiliki oleh AI adalah rasa. Dimana para jurnalis yang turun ke lapangan langsung bisa merasakan suasana hingga perasaan narasumber.

Jemaah Haji Debarkasi Surabaya Wafat di Tanah Suci Bertambah jadi 68 Orang

"Kenapa saya mengharapkan fokus pada indept reporting, karena AI belum bisa. AI hanya mengumpulkan informasi dan data sehingga jadilah tulisan sedemikian rupa. Tetapi AI tidak bisa mencari rasa, maka kita harus lebih menonjolkan jenis-jenis indept reporting dan jurnalisme data," ujar Nani Afrida dalam Konferta AJI Kediri, Sabtu, 29 Juni 2024.

Selain rasa, Nani mengatakan bahwa AI sudah dipakai jurnalistik terutama berita-berita yang pendek. Misalnya berita olahraga, salah satu cara mudah hanya tinggal memasukkan informasi Manchester United menang atas Liverpool. Dengan kondisi yang mencetak gol menit ke berapa, siapa dan kapan.

Ning Ita Borong Rekom untuk Pilwali Mojokerto, Satu Partai Parlemen belum Merapat

Setelah semua informasi masuk, AI bekerja dengan sendirinya dan jadilah sebuah jurnalistik. Kendati demikian, Nani mengaku itu berita informasi hanya sekadar informasi bukan untuk dikunyah mengambil inti sari.

"Maka saya bilang belajar indepth indepth jangan malas! Jangan semua informasi diambil oleh AI, kita bekerja keras yang dibutuhkan adalah informasi informasi sangat mahal. Kita wawancara cari data ke kementerian-kementerian kita bikin semacam tabel, nah AI tinggal ngambil," keluhnya. 

Liputan Mendalam Masih Kita Butuhkan

Perempuan yang juga Pemred Media Online Independen ID ini mengaku dalam perkembangannya tidak usah khawatir akan tergerus. Dirinya optimis tulisan indepth masih menjadi rujukan dan mendapat hati bagi pembaca.

Ia mencontohkan seperti di Project Multatuli hingga di Kompas maupun Tempo masih bertahan. Bahkan di belakang halaman ada satu halaman khusus liputan investigasi dan indepth reporting.

Nani berpesan kepada para jurnalis, sekarang harus dilakukan adalah bagaimana memperbaiki menulis indepth yang tidak bisa dilakukan oleh AI. Serta jurnalis seyogianya bisa menulis tanpa harus mengikuti isu lain.

"Penyakitnya wartawan sekarang kalau isunya tentang a yaitu semua ikut. Kalau misalnya ada isu b, b semua. Kita tidak pernah mau membuat isu baru yang lain daripada yang lain," bebernya.

Nani mengisahkan ketika tahun 2005 silam mengikuti Training Jurnalisme Sastrawi yang diinisiasi oleh Yayasan Pantau. Termasuk dalam satu kelas dari editor Project Multatuli, sudah diajari bahwa jurnalis jenis hardnews itu akan punah. Namun bagaimana tulisannya panjang dan ada yang membaca, yang menjadi masalah kita terbiasa tidak membaca buku biasa malas membaca panjang.

"Nah sampai kapanpun tulisan indept sama tulisan investigasi saya optimis pasti ada yang membaca," ujarnya.

Perempuan yang pernah di Jakarta Post ini mengaku akibat adanya itu membuat otak menjadi pendek tidak terbiasa dengan hal-hal yang berat. Selalu mengikuti enak, dan simple, membaca lebih senang ada tulisan, warna, gambar di sosial media.

"Itulah yang kita makan dan anak-anak kita yang makan sekarang sedikit sekali saya melihat di kereta membaca buku, rata-rata bukanya pasti medsos. Karena mereka menganggap, wah saya sudah terliterasi dengan informasi, padahal belum tentu benar bisa juga itu hoaks," paparnya.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Indonesia 2021-2024 ini menanyakan kepada para wartawan sejauh mana dan berapa lama dalam sehari meliterasi diri sendiri dengan membaca di luar liputan.

Itu menurut Nani yang masih menjadi penyakit wartawan. Hanya lebih sering membaca tulisan sendiri mulai dirubah angle, hingga menjadi lebih oanjang karena diedit oleh redaktur dan sebagainya. Namun lupa meliterasi diri sendiri untuk menambah wawasan.

"Kadang-kadang saya berpikir itu wartawan nulis apa kau tidak punya literasi membaca. Nah itu mungkin yang mesti jadi perhatian. Tapi jangan khawatir tulisan indepth dan investigasi akan tetap ada karena kita masih butuh," tandasnya.