Mengenal Batik Pesisiran: Perpaduan Budaya Jawa dan Pengaruh Asing
- ANTARA
Didi menambahkan bahwa pada tahun 1930, kebaya encim mulai marak dengan beraneka ragam desain. Namun, kebaya encim tidak pernah berwarna putih, kecuali setelah kematian kerabat dekat.
Ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Tionghoa yang menganggap warna putih sebagai simbol ketiadaan atau kematian.
Awalnya, kebaya encim dikenal dengan sebutan kebaya nyonya, julukan yang pertama kali dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Tionghoa peranakan. "Istilah kebaya encim digunakan secara umum oleh non-Tionghoa untuk menamakan jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan peranakan Tionghoa," katanya.
Namun, sejak tahun 1911, ketika kekaisaran Tiongkok runtuh, orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Belanda. Pada saat itu, para noni Belanda tidak mengenakan kebaya para bangsawan yang mewah dari bahan sutera, melainkan memilih bahan katun tipis dengan potongan pendek.
"Bermula dari inspirasi kebaya para noni, para nyonya Tionghoa memodifikasi dengan memasukkan potongan, bahan, warna, border, dan aksesoris yang digunakan," tuturnya.
Sebagai penutup, kegiatan bincang Wastra Bercerita ini juga menyajikan pameran Batik Pesisiran lebih dari 100 helai, yang dibuat sekitar tahun 1900. Koleksi tersebut merupakan sumbangan dari Ibu Eiko Adnan kepada Museum Tekstil Jakarta.