Mengenal Batik Pesisiran: Perpaduan Budaya Jawa dan Pengaruh Asing
- ANTARA
Surabaya, VIVA Jatim –Batik Pesisiran merupakan jenis batik yang banyak ditemukan di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Batik ini lahir dari perpaduan akulturasi budaya Indonesia dengan pengaruh budaya asing yang kaya, menciptakan motif dan desain yang unik.
Batik Pesisiran tumbuh dan berkembang di daerah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran. Berbeda dengan batik yang lebih terkenal di Solo dan Yogyakarta, Batik Pesisiran dipengaruhi oleh budaya asing yang datang ke Nusantara, khususnya dari China, India, Belanda, dan Arab.
Dalam bincang Wastra Bercerita, Ketua Umum Himpunan Wastraprema, Neneng Iskandar, menjelaskan bahwa sekitar abad ke-15 dan ke-16, para peranakan dari berbagai negara mulai mengembangkan busana mereka sendiri, seperti sarung dan kebaya. Seiring berjalannya waktu, mereka membutuhkan batik sebagai bagian dari identitas budaya mereka.
"Batik Pesisiran lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan, dan baru berkembang luas sekitar abad ke-19. Hal ini dipengaruhi oleh kemunduran produksi tekstil India, yang saat itu menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke Pulau Jawa," jelas Neneng Iskandar dalam bincang Wastra Bercerita, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Wastraprema di Museum Tekstil Jakarta, dilansir dari Antara pada Minggu, 16 Februar 2025.
Neneng menambahkan bahwa ragam motif Batik Pesisiran sangat beragam, menggabungkan pengaruh budaya dari Pulau Jawa, China, India, dan Arab. "Ciri khas Batik Pesisiran dapat dilihat dari motif yang menjadi simbol atau akulturasi budaya Indonesia dengan budaya asing, seperti motif naga, kapal, kaligrafi, dan juga motif yang mewakili ciri khas lingkungan pesisir," ujar Neneng. Selain itu, pengaruh budaya Sumatera juga turut memberikan warna pada batik ini.
Selain itu, dalam kesempatan yang sama, Perancang Busana Didi Budiardjo menjelaskan bahwa Batik Pesisiran sering dipadukan dengan kebaya peranakan, yaitu kebaya yang umumnya dikenakan oleh perempuan dari kalangan Eropa atau Tionghoa. Menurut Didi, pemakaian kebaya peranakan sebagai mode saat ini semakin eksis, meskipun jumlahnya belum sebanyak kebaya kuthu baru.
"Asimilasi budaya Tionghoa-Indonesia melahirkan kebaya peranakan. Kebaya peranakan terus berkembang tanpa meninggalkan pakem yang ada," ucap Didi.
Didi menambahkan bahwa pada tahun 1930, kebaya encim mulai marak dengan beraneka ragam desain. Namun, kebaya encim tidak pernah berwarna putih, kecuali setelah kematian kerabat dekat.
Ini disebabkan oleh pandangan masyarakat Tionghoa yang menganggap warna putih sebagai simbol ketiadaan atau kematian.
Awalnya, kebaya encim dikenal dengan sebutan kebaya nyonya, julukan yang pertama kali dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Tionghoa peranakan. "Istilah kebaya encim digunakan secara umum oleh non-Tionghoa untuk menamakan jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan peranakan Tionghoa," katanya.
Namun, sejak tahun 1911, ketika kekaisaran Tiongkok runtuh, orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Belanda. Pada saat itu, para noni Belanda tidak mengenakan kebaya para bangsawan yang mewah dari bahan sutera, melainkan memilih bahan katun tipis dengan potongan pendek.
"Bermula dari inspirasi kebaya para noni, para nyonya Tionghoa memodifikasi dengan memasukkan potongan, bahan, warna, border, dan aksesoris yang digunakan," tuturnya.
Sebagai penutup, kegiatan bincang Wastra Bercerita ini juga menyajikan pameran Batik Pesisiran lebih dari 100 helai, yang dibuat sekitar tahun 1900. Koleksi tersebut merupakan sumbangan dari Ibu Eiko Adnan kepada Museum Tekstil Jakarta.