Kisah Pekerja SKT di Tulungagung Hidupi Keluarga hingga Sekolahkan Anak Jadi Perawat

Pekerja pabrik SKT tengah mengerjakan rokok
Sumber :
  • Madchan Jazuli/Viva Jatim

Tulungagung, VIVA Jatim – Sebelum subuh dan ayam berkokok, Karmi (59) sudah terjaga untuk persiapan berangkat kerja. Ia sudah 20 tahun lebih bekerja sebagai buruh Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Tulungagung.

Surplus Panen Padi di Tulungagung Capai 66 Ribu Ton

Perempuan tiga anak ini harus menyiapkan makanan sebelum dua buah hatinya sekolah. Suaminya bekerja merantau. Hanya cukup untuk kebutuhan dirinya dan sisanya dikirim untuk keluarga di rumah.

Tinggal di Desa Karanganom Kecamatan Kabupaten Trenggalek, hanya terpaut beberapa kilometer dari pabrik rokok yang sudah masuk wilayah Tulungagung. Jika yang lain diantar jemput menggunakan bus operasional, Karmi berangkat sendiri berhubung dekat.

Hore, Listrik PLN di Pulau Gili Raja Sumenep Kini Nyala 12 Jam Sehari

Puluhan tahun menggeluti SKT membuatnya bersyukur. Anak-anaknya kini sudah berumah tangga lepas dari tanggungjawabnya. Biaya hidup hingga sekolah, Karmi dapatkan lewat gaji bekerja di pabrik rokok.

"Alhamdulillah sudah bisa ngopeni (merawat dan membesarkan) 2 anak lewat bekerja di rokok," ucapanya saat ditemui VIVA Jatim, Minggu, 3 Desember 2023.

Wabup Syah Cuti, Laksanakan Ibadah Haji bersama 98 CJH Trenggalek

Dulu, anak sulung keburu merantau, praktis dua anak yang masih mengeyam pendidikan di SMP dan SMA menjadi tanggungannya. Karmi mengaku sangat terbantu dan cukup untuk memenuhi selama bekerja di SKT agar dapur tetap mengepul.

Selama itu, ia hanya sekali pindah dari pabrik. Dulu pada tahun 2002 menyebut pabri rokok Gipang atau yang sekarang lebih dikenal dengan Subur Alami. Salah satu rokok kretek pada masanya memiliki tempat di hati penikmat rokok di kalangan pedesaan.

Lalu, pada 2006 dirinya pindah ke salah satu pabrik rokok tak jauh dari pabrik lama. Desa Gesikan merupakan pembibitan tembakau sekaligus banyak pabrik rokok berdiri, baik dikelola bersama-sama maupun pribadi.

"Saya masuk di pabrik baru Simustika milik Almarhum Musdi, dimana dalam satu naungan PT Tiga Saudara Sejati," jelasnya.

Ia mulai mengisahkan perihal gaji, per seribu batang rokok pada awal-awal 2007 hanya dihargai Rp 9 ribu. Kian lama semakin tinggi per seribu bertahap hingga saat ini Rp 31,5 ribu dengan sistem gajian setiap akhir pekan yakni di hari Sabtu butuh SKT mendapat gaji dari hasil totalan selama 6 hari kerja.

"Kalau saya sehari rata-rata bisa memotong 2.400 sampai 2.500. Dulu masih cepat mas, termasuk ada lembur-lembur masih kuat. Sekarang sedapatnya, sudah capek dan menggunakan alat bantu kacamata," paparnya.

Perempuan paruh baya yang sudah memiliki 3 cucu ini menambahkan para buruh tidak harus lulusan SMP atau SMA. Selagi bisa dan bersungguh-sungguh, bisa menjadi pekerja. Namun, selama ini banyak yang mengambil dari eks pabrik rokok terbesar di Indonesia yang berada di Kediri.

"Ada satu bus dari Dono (Kecamatan Sendang, Tulungagung), 12 bus antar jemput ke Kediri," paparnya.

Perihal bau chaos atau campuran dalam tembakau, dirinya sudah terbiasa dan bersyukur tidak ada keluhan pernafasan. Namun ada beberapa buruh yang tak tahan, sehingga harus menggunakan masker sabagai pelindung.

Bagi Karmi, suka duka menjadi pekerja SKT cukup beragam. Duka saat harus bekerja dari selepas subuh dan pulang pukul 16.00 setiap hari. Kedekatan dengan si buah hati menjadi berkurang. Pasalnya, sesampainya sepulang kerja sudah lelah membuat badan merasa kantuk.

Sukanya menurut Karmi adalah saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Semua pekerja menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dari pabrik. Lumayan banyak untuk sekadar membelikan baju anak, dan keperluan tambahan.

Kini, anak puterinya mengikuti langkah Karmi, Novi namanya, dimana anak semata wayang Novi kini sudah di bangku SMP tak jauh dari rumah.

Karmi sendiri ditanya kapan pensiun, hanya tersenyum malu. Lantas mengucapkan kelak nanti ada masanya jika badan sudah tak kuat. Ketika sudah lanjut dan tidak produktif, akan mengakhiri pekerjaan yang telah mencukupi lebih kehidupan selama ini.

"Lek sik mampu kerjo tetap (Kalau masih mampu ya tetap bekerja). Sekarang saya tetap, tapi posisinya pindah agak depan. Sehingga enak bisa melihat lalu lalang kendaraan operasiona. Kalau di ruangan besar banyak dan riuh pekerja. Setiap hari itu kontainer datang, kemarin bahkan 4 kontainer," tandasnya.

Lain Karmi, lain Agus Winarti perempuan paruh baya yang juga menjadi pekerja pabrik di lokasi yang sama. Menjanda membuat ia harus menghidupi sang putri dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Anaknya bernama Mustika Devi Pratama, saat ini sudah bekerja menjadi perawat di salah satu rumah sakit ternama di Tulungagung. Jerih payah Winarti selama bertahun-tahun di SKT membuahkan hasil manis.

Perempuan yang juga satu desa dengan Karmi, namun berbeda dusun ini masuk SKT pada 2008 silam. Alasan kebutuhan ekonomi membuat jalannya sedikit lebih keras dalam memperoleh penghidupan yang layak.

"Alhamdulillah perasaannya bisa menyekolahkan anak hingga lulus menjadi perawat senang dan bangga. Lantaran bisa menyekolahkan ke jenjang lebih tinggi dan sudah mendapatkan pekerjaannya sebagai perawat," ungkap Winarti.

Disinggung sukanya, Winarti menjelaskan bisa berkumpul dengan banyak orang. Bersosialisasi sesama rekan kerja membuat bertambah saudara dan teman.

Sedangkan untuk dukanya, ia mengaku banyak waktu yang tersita. Sebab jam kerja harus pagi dan pulang sore berulang-ulang setiap hari. Membuatnya merasa capek dan tersita banyak waktu di luar.

"Dukanya jam kerja lama, berangkat pagi pulang sore," akui perempuan berusia 49 tahun ini.

SKT Serap Puluhan Ribu Tenaga Kerja di Tulungagung

Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Tulungagung yang juga sekaligus pemilik pabrik rokok di Desa Gesikan, Kecamatan Pakel, Tulungagung, Nur Hadi mencatat SKT telah menyerap produksi di Tulungagung, ia mengakui belum tahu pasti.

Akan tetapi yang pasti menyerap sekitar hampir 30 ribu tenaga kerja di seluruh pabrik. Hal itu menurutnya cukup menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tidak pro dengan petani tembakau.

"Jumlah tetapnya belum tahu. Tapi yang pasti menyerap 30 ribu tenaga kerja di pabrikan se-Tulungagung," ulas Nur Hadi pada pekan lalu.

Tenaga kerja SKT di Tulungagung kurang kuantitas, sehingga pekerja sebagian mengambil tenaga eks dari Kediri yaitu keluaran buruh dari Pabrik Rokok Gudang Garam. Pabrik Rokok di Tulungagung rela mengeluarkan biaya tambahan transportasi antar jemput setiap hari.

Pasalnya, pekerja di Tulungagung sendiri yang tersebar di 10 pabrik kesulitan mencari pekerja. Mulai Pabrik Rokok Mustika, PS Jeram hingga Age Pro harus mengambil tenaga dari Kediri.

"Yang muda-muda belajar tidak mau, larinya ke luar negeri. Jadi SKT ini pekerjaan ini sangat menjanjikan, jadi kalau mau dihapus (melalui RP Kesehatan) itu kita sangat menentang habis-habisan," tegasnya.

Ditanya distribusi rokok asli Tulungagung, pria berkumis ini menambahkan rata-rata pemasaran dipasok ke lokal kabupaten dan di seluruh Indonesia.

Berbanding terbaik dengan tembakau kering yang sering mendapa permintaan dari luar jawa, di wilayah perkebunan sawit. Selain untuk merokok, sekaligus para penikmat rokok digunakan mengusir nyamuk.

"Kalau pasarnya tembakau (kering) Tulungagung di Jawa dan Sumatera tembakau yang belum proses yang masih tembakau rajangan," akuinya.

Ia menegaskan adanya SKT di Tulungagung cukup menjanjikan dalam menyetor cukai pajak ke negara. Per tahun cukai pajak yang harus dikeluarkan 10 pabrik rokok yang ada di Tulungagung adalah sebesar Rp 157 miliar.

Pemilik pabrik rokok ini menilai berbanding terbaik nilai cukai sangat besar. Tak jarang dikeluhkan beberapa perusahaan rokok menengah sangat terbebani.

"Banyak menyumbang devisa Cukai pajak negara Tulungagung itu hampir 157 miliar. Budgetnya dari pusat 200 miliar, kita kurang, belum mampu," keluhnya.

Nurhadi mengaku persoalan yang sampai saat ini dialami oleh pabrik rokok menengah adalah beban biaya yang harus dikeluarkan. Mulai cukai yang akan naik, cengkeh ikut naik dari harga sebelumnya 75 ribu saat ini menembus 120 ribu per ilogram kering.

"Pun juga tembakau juga kenaikannya 40 persen membebani pabrikan rokok yang ada di Tulungagung, bahkan di seluruh Indonesia," ulasnya.

Nurhadi menambahkan Pabrik Rokok SKT sangat bagus dalam menyerap tenaga kerja. Terbukti selama pandemi covid-19, tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Bahkan permintaan rokok mengalami kenaikan dan tenaga kerja kurang.

"Selama pandemi tidak ada masalah. Kita harus melembarkan tempat kita mengeluarkan coast lag. Tidak ada penurunan permintaan

tambah semakin bertambah permintaan," tutupnya.

Terpisah, Ketua Advokasi Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Sriyadi Purnomo mengatakan seperti yang ia alami bahwa di Bojonegoro yang bermitra dengan PT HM Sampoerna telah memperejakan SKT tidak kurang 6 ribu buruh.

"Kami juga kerjakan kurang lebih di Bojonegoro ada 6000 karyawan kami khususnya SKT. Maka saya senang denganku bapak-bapak para petani tembakau yang ada di pelosok Jawa Timur, karena SKT adalah rokoknya bahan bakaunya tembakau lokal," papar Sriyadi dalam kunjungannya tasyakuran petani tembakau di Tulungagung, Kamis, 30 November 2023.

Oleh sebab itu, pihaknya tidak rela jika di dalam RPP Kesehatan pemerintah membatasi dengan beberapa pasal yang merugikan baik petani tembakau hingga stakeholder yang terait. Ia mempertanyakan jutaan pekerja yang menggantungkan hidup di rokok mulai hulu sampai hilir industri hasil tembakau (IHT).

"Jangan mengebiri petani jangan mengebiri masyarakat. Kita AMTI terus berupaya mengadvokasi membela masyarakat tembakau khususnya petani, para buruh rokok dan juga elemen-elemen lain termasuk juga Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia," tegasnya.