Cukai Rokok Diisukan akan Naik, Petani Tembakau Panik

FGD Cukai Rokok
Sumber :
  • Nur Faishal/Viva Jatim

Jatim – Sinyal kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2023 mengancam ekosistem pertembakauan, terutama petani tembakau. Kendati baru isu, kenaikan CHT membuat panik petani karena itu akan menjadi badai tambahan setelah pandemi COVID-19, perubahan cuaca dan subsidi pupuk menghantam mereka sehingga dunia pertembakauan mengalami keterpurukan.

Soal itu terdedahkan dalam diskusi Dampak Efek Domino Kenaikan Cukai Hasil Tembakau yang digelar Pakta Konsumen di Hotel Kampi Surabaya, Jawa Timur, Selasa kemarin. Diketahui, sinyal kenaikan CHT ditunjukkan dari target pertumbuhan 9,5 persen dan proyeksi raihan Rp245,45 triliun pada tahun 2023 oleh pemerintah. 

Ketua DPN Asosiaso Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, selama ini penerima manfaat terbanyak dari CHT ialah pemerintah, yaitu 70 persen. Adapun petani hanya sekira empat persen. Sedangkan pengembalian manfaat ke petani melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tidak sebanding dengan dampak dari kenaikan CHT itu sendiri.

Nah, dari sisi itu bisa dilihat bahwa sejak awal, kata Soeseno, pemerintah tidak memikirkan masa depan petani tembakau dan cengkeh yang akan terpukul berat dengan opsi kenaikan CHT 2023 tersebut. “Padahal petani yang akan merasakan dampak langsung dari rencana kenaikan CHT,” katanya dalam diskusi itu baru-baru ini.

Soeseno juga menyayangkan isu kenaikan CHT selalu disuarakan menjelang masa panen tembakau. Akibatnya, hal itu berpengaruh pada spekulasi harga tembakau. “Target kenaikan CHT 2023 jelas akan memukul industri. Pada akhirnya, petani akan terkena efek domino. Opsi kenaikan cukai ini tidak adil. Saat petani bersiap menjual tembakaunya, spekulan akan memainkan harga begitu ada rencana kenaikan cukai. Ujung-ujungnya, petani dipaksa untuk menjual tembakau dengan harga murah,” tandasnya. 

Anggota DPRD Jatim Agus Dono Wibawanto menjelaskan, opsi kenaikan CHT ini berdampak besar bagi petani tembakau di Jatim. Sebab, 60 persen produksi tembakau nasional berasal dari Jatim. Sedangkan 60 persen produksi tembakau di Jatim berasal dari Pulau Madura. Karena itu, ia mengajak seluruh elemen yang berkepentingan untuk bareng-bareng menyuarakan kegelisahan para petani dan konsumen dunia pertembakauan.

Salah satu jalan yang perlu dilakukan, lanjut Agus Dono, ialah melegalisasi gerakan kolektif untuk menyuarakan kepentingan petani tembakau dan konsumen. Sebab, selama ini kebijakan soal pertembakauan, termasuk soal CHT, terkesan ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa melibatkan seluruh ekosistem pertembakauan, termasuk petani dan konsumen.   

“Tembakau itu bukan sekedar komoditas atau produk. Tembakau itu adalah histori, warisan sejarah, dan budaya yang telah mendarah daging. Tembakau pun punya manfaat luar biasa yang banyak tidak diketahui masyarakat. Oleh karena itu, mari kita perjuangkan keberlangsungan tembakau dan tolak kenaikan cukai hasil tembakau,” ujar Agus. 

Ketua Pakta Konsumen Andi Kartala sepakat dengan usulan Agus Dono. Menurutnya, gerakan kolektif memang diperlukan. “Pemerintah tiap tahunnya menerima lebih dari Rp190 triliun dari cukai hasil tembakau yang merupakan kontribusi konsumen. Konsumen sebagai end-user seringkali tidak dianggap,” katanya.

Karena jarang dilibatkan, lanjut Andi, sering terjadi mispersepsi di kalangan konsumenp bahwa kenaikan cukai hasil tembakau adalah bikinan pabrik rokok agar bisa menaikkan harga rokok yang mereka jual. Padahal, harga rokok naik karena akibat dari kebijakan pemerintah menaikkan CHT. “Selama ini konsumen mengira harga rokok naik karena dari pabrik,” ujarnya.