Ahmad Guntur Alfianto, Pemuda Asal Malang Gigih Lakukan Konseling Kesehatan Mental terhadap Anak

Ahmad Guntur Alfianto saat lakukan Konseling terhadap siswa
Sumber :
  • Viva Jatim/Ahmad Fatoni

Malang, VIVA Jatim – Isu mental health atau kesehatan jiwa terkadang diabaikan oleh kebanyakan orang, terutama anak-anak di lingkungan sekolah. Begitu juga ilmu dasar tentang mental health yang mengajarkan kita gejala-gejala awal rusaknya mental dan jiwa seseorang. Tidak banyak orang perhatian akan kondisi ini.

Pj Wali Kota Kediri Buka Pameran Foto Jurnalistik SANTRI: Refleksi Toleransi

Ahmad Guntur Alfianto, pemuda asli Malang adalah sedikit dari orang yang memperhatikan pentingnya mental health. Hidup di pelosok wilayah Malang Selatan, tepatnya di Kecamatan Bantur, dengan akses pendidikan, dan kesehatan yang sangat kurang, mengetuk hatinya untuk bergerak menjadi jembatan bagi mereka yang membutuhkan pendidikan dan akses kesehatan yang cukup. 

Kepada VIVA Jatim, Minggu, 10 November 2024, pria yang juga dosen di STIKES Widyagama Husada itu menuturkan bahwa banyak anak-anak di kecamatan Bantur tidak memiliki motivasi untuk sekolah, begitu juga semangat belajar. Bahkan, ada anak-anak yang mempunyai perilaku beresiko, terutama di daerah yang minim akses kesehatan jiwa. 

MUI Trenggalek Beri Rekomendasi Pencegahan Pelecehan Seksual di Lembaga Pendidikan

“Jadi saya melihat fenomena ada penggunaan zat adiktif, seperti merokok. Jadi, saya menyurvei satu sekolahan itu memang perilakunya banyak yang merokok. Kemudian, anak-anak yang ditinggal oleh orang tuanya, sebagai pekerja migran Indonesia, ya memang tidak dirawat sebagaimana mestinya seorang anak. Sehingga mereka sekolah atau tidak ya urusan anak tersebut. Sehingga saya melihat ada problematika kesehatan mental di sana,” ucapnya.

Tidak hanya itu, lanjut pria yang juga menekuni dalam bidang keperawatan jiwa itu, ada fenomena terkait permasalahan gender pada guru, yaitu guru perempuan. Di mana, ketika mereka mengajar sambil membawa anak sehingga kualitas pengajaran, pendidikan serta proses pendidikan sangat kurang. Seharusnya, guru harus profesional dalam mengajar di lingkungan sekolah. Dalam artian, mengasuh anak tidak harus dilakukan oleh seorang perempuan. 

Mengenal Desa Wisata Keris yang Dikenal Dunia, Kerisnya Mempunyai Pamor yang Diminati Kolektor

Hal itulah yang melatarbelakangi, pria kelahiran 1989 itu mendirikan program School Mental Health in Rural, kegiatan yang bergerak dalam bidang kesehatan mental pada tahun 2018. Program ini merupakan sekolah kesehatan jiwa yang di dalamnya membahas tentang intervensi keperawatan jiwa. 

“Jadi banyak sekali di tahun 2018, kita sudah mulai mengedukasi terkait siswa-siswa yang ada di salah satu binaan sekolah di pedesaan pada waktu itu, kemudian edukasi kesehatan mental, juga mencoach guru-gurunya, karena di sekolah tersebut tidak ada konselor, konseling atau guru BK, yang sangat minim sekali. Sehingga mau tidak mau saya mengajarkan kepada gurunya bagaimana menjadi seorang konselor atau konseling ketika ada permasalahan, terutama kesehatan mental,” katanya.

“Tidak hanya kesehatan mental saja di sana yang minim, tapi akses kesehatan umum juga minim, sehingga di tahun 2018 sudah mengembangkan program yang berhubungan dengan School Mental Health in Rural,” lanjutnya.

Program yang digagas oleh pria asal Karang Ploso Malang ini berkembang dan terus tebar kemanfaatan hingga detik ini. Hal itu dibuktikan dengan sasaran program yang sudah merambah ke luar kecamatan, yakni di Kalipare yang aksesnya sangat minim sebab berada di wilayah pesisir. 

Program ini tidak berjalan sendirian, Guntur juga bekerjasama dengan Lembaga Konsorsium Pendidikan yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun 2018 ia berkegiatan dalam pembentukan terhadap akses anak-anak untuk mencari perilaku kesehatan jiwa. Dengan program ini, anak-anak bisa mencurahkan emosionalnya di sekolah. Pada tahun yang sama, ia juga membentuk program terkait konseling bagi guru-guru, di mana guru harus tahu gejala-gejala ketika ada permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan mental. 

Dari kegiatan tersebut tahun 2019 dan 2020 ia mengupayakan satu program bernama pucuk curhat. “Program tersebut adalah program yang diinisiasi oleh saya ya terutama memang kondisi lingkungan sekolah yang tidak memiliki seorang guru BK ataupun konselor sehingga saya menyiapkan satu ruangan khusus di situ agar nyaman ketika anak-anak mengalami suatu permasalahan.”

Program ini sempat mengalami tantangan pada tahun 2020, di mana pandemi covid-19 masuk ke Indonesia. Seluruh aktifitas warga dibatasi. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Guntur mendampingi anak-anak. Pada awal pandemi, dirinya melakukan survey dan ternyata permasalahan kesehatan mental anak-anak di era pandemi semakin luar biasa. Dengan menggandeng STIKES Widyagama Husada serta Puskesmas Bantur, ia membuat platform di mana anak-anak bisa melakukan konseling terkait mental health secara daring. Pertengahan tahun, ia menscreening terhadap anak-anak terkait mental health.

“Kita mendatangkan siswa-siswi tetapi dengan protokol kesehatan waktu itu, kita tes terkait SRQnya, yakni terkait gejala-gejala yang berhubungan dengan masalah mental health. Jadi waktu itu kita langsung edukasinya adalah mengumpulkan anak-anak melalui zoom, yaa dengan siswa, terutama yang mengalami masalah mental health. Dan itu harus didampingi oleh orang tuanya pada waktu itu. Karena kita menggunakan system zoom,” ceritanya.

2021, program School Mental Health in Rural berjalan lagi seiring pandemi covid-19 sudah mulai reda. Tidak hanya menscreening kesehatan mental, tapi juga kesehatan fisiknya. Ia mengembangkan UKS karena sebelumnya tidak ada di sekolah-sekolah yang menjadi binaan programnya. Pada tahun 2022, school Mental Health in Rural bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, memberdayakan siswa melalui kegiatan pramuka, yakni program Kenari. Kenari adalah program kemah yang memiliki filosofi kenali diri sendiri.

Pada tahun 2023, Guntur memasuki wilayah pesantren di daerah Malang Selatan. Ia tergerak untuk melakukan konseling dalam bidang kesehatan mental sebab melihat fenomena tradisi di dalamnya, seperti gojlokan, bullying, bahkan ada santri memiliki resiko perilaku bunuh diri. Selain itu, marak di pesantren perilaku kekerasan seksual, baik sesama jenis maupun guru yang bertindak kotor kepada santrinya. Dalam menangani kasus di pesantren itu, Guntur membuat program yang disebut dengan Santri Gojlokan. Santri Gojlokan ini bekerjasama dengan mahasiswa STIKES Widyagama Husada.  

Santri Gojlokan sampai detik ini bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama beserta banomnya, di mana sebagai organisasi terkuat di Malang selatan, di antara banom NU yang diajak kerjasama seperti Muslimat NU, Fatayat, dan RMI NU. Dengan konsistensinya, program Santri Gojlokan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). 

Selain itu, Ahmad Guntur Alfianto sebagai inisiator School Mental Health in Rural menjadi salah satu penerima Satu Indonesia Award (SIA) 2021 dengan mengangkat programnya tersebut. Seperti diketahui Satu Indonesia Awards merupakan program penghargaan yang diinisiasi oleh PT. Astra International tbk. kepada generasi muda Indonesia yang berprestasi dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan. Program ini merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) Astra. 

Ia menceritakan bahwa awal mula dirinya mendaftarkan diri sebagai penerima SIA berawal dari temannya yang menerima SIA pada tahun 2019. “Saya mencari informasi di Website, program apa sih sebenarnya? Kemudian pada tahun 2020, saya mendapat informasi SIA, akhirnya saya pelajari persyaratannya. Pada tahun 2021, baru saya berani mengikuti program tersebut. Saya menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh SIA waktu itu dengan masukkan program-program yang saya lakukan dari tahun 2018. Dengan mengangkat tema Mental Health, ternyata saya mendapatkan SIA di tingkat provinsi,” ceritanya.

Guntur berharap ke depannya pemerintah bisa memperhatikan isu mental health. Karena dirinya melihat hari ini pemerintah fokus pada pemenuhan gizi. Hal ini berguna untuk mendukung anak-anak untuk menghadapi era Indonesia Emas pada tahun 2045. “Mau gak mau harus disiapkan mentalnya. Selain gizinya yang harus terpenuhi, mental healthnya juga harus terpenuhi. Jadi, program mental health di sekolah harus bisa kita kampanyekan, apalagi kekerasan seksual, bullying di lingkungan pendidikan. Sebab, itu akan terbawa di lingkungan pekerjaan nantinya.”

Guntur juga mengapresiasi program yang dilakukan oleh Astra. “Kemaren ada pertemuan bersama Astra pada tanggal 28-31 Oktober 2024 di Jakarta. Kami bertemu dengan penerima SIA di seluruh Indonesia untuk berkolaborasi terkait program apa yang bisa dikolaborasikan. Saya berkolaborasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan dengan teman saya dari daerah 3T, jadi kami berkolaborasi terkait bagian mana yang bisa dikolaborasikan terkait pendidikan dan kesehatan. Itu sangat penting sekali,” tutupnya.