Batik Bantengan, Lestarikan Kebudayaan-Gerakkan Kesejahteraan
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
Kemudian Anjani dituntut konsumen dengan banyak yang minat dengan karya batik. Sehingga akhirnya merubah mindset dari yang membuat karya dengan ego Anjani menjadi seniman yang menciptakan satu karya saja, tidak untuk diproduksi secara berulang-ulang.
Kemudian berubah menjadi seorang pembisnis, entrepeuner. Baginya, sampai detik ini pun masih belajar. Masih meraba-raba dunia usaha, walaupun usaha yang kita bangun sudah besar, tetapi ya masih tetap bersikukuh dengan apa kebiasaan dalam membuat karya.
"Itu ya cukup untuk di ciptakan kemudian dipamerkan begitu.
Tidak untuk dijualbelikan. Jadi memang tantangan-tantangan yang seperti itu yang membuat kami harus merubah mindset yang pertama," jelasnya.
Tantangan selanjutnya, ia menambahkan soal awal Kota Batu bukan sebagai Kota Batik, alhasil mencari perajin batik sangat susah. Lalu, ia mengajari ke masyarakat untuk bisa menjadi perajin secara mandiri.
Anjani benar-benar dari nol, tidak sekadar mencomot pengrajin dari daerah Pekalongan atau Madura untuk memenuhi kebutuhan pembatik. Akhirnya jerih payahnya membuahkan pembatik-pembatik Kota Batu.
Benar-benar masyarakat batu yang kita berdayakan, jumlah karyawan ada 42 orang. Dari Malang Raya ada yang memproduksi batik, mencanting atau pembatik ada 28. Sisanya mereka di produk turunannya. Ada yang menjahit baju, menjahit tas dan memproduksi sepatu," ulasnya.