BHS Ungkap Pemanfaatan LRT Palembang Tak Maksimal, Beda dengan Jepang

Bambang Haryo Soekartono.
Sumber :
  • Dokumen Bambang Haryo Soekartono

Jatim – Politikus yang juga pengusaha asal Surabaya, Bambang Haryo Soekartono (BHS), mengungkapkan pengalaman tak nyamannya saat memanfaatkan angkutan umum Lintas Rel Terpadu (LRT) Sumatera Selatan atau dikenal dengan LRT Palembang. Anggota DPR RI 2014-2019 itu lantas membandingkan dengan LRT di Jepang yang menurutnya lebih baik.

DPR RI Dorong Percepatan Pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat: 59,95 Ha Sangat Cukup

“LRT Pelembang yang dibiayai dengan hutang sangat besar senilai Rp10,9 triliun sampai dengan saat ini masih kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Terbukti, pendapatan LRT saat ini baru sebesar Rp15 miliar setahun,” katanya dalam keterangan tertulis diterima pada Sabtu, 24 Desember 2022.

Padahal, lanjut mantan legislator di Komisi VI dan V DPR RI itu, biaya operasional LRT untuk listriknya saja adalah Rp7,5 miliar per bulan atau Rp90 miliar setahun. Belum lagi biaya-biaya lain yang akhirnya LRT Palembang harus disubsidi APBN sekitar Rp300 miliar per tahun di tahun 2018, dan Rp160 miliar di tahun 2022.

Kata Pengamat soal Penyebab Pelabuhan Patimban belum Beroperasi Maksimal

“Dan tahun-tahun sebelumnya rata-rata [disubsid] antara Rp200 sampai Rp300 miliar yang semuanya menggunakan uang rakyat seluruh Indonesia dari anggaran APBN,” ujar BHS.

“Ditambah lagi saat saya melewati salah satu stasiun Bumi Sriwijaya, saat itu masyarakat mengeluh tangga eskalator tidak jalan, demikian juga lift mati sehingga banyak ibu-ibu yang turun  tangga mengalami kesulitan dan akses intermoda darat lanjutan (BRT) saat itu juga tidak ada,” papar Wakil Ketua MTI Pusat itu.

5 Rekomendasi Kuliner Sekitar Stasiun Gubeng Surabaya dengan Pilihan Menu Nikmat

BHS juga mengaku melihat ada beberapa fungsi yang menurutnya tidak standart. “Misalnya pagar penumpang penunggu kereta api dengan rel kereta api tidak ada pembatasnya dan ini sangat membahayakan para penunggu kereta api pada saat akan tiba karena mereka bisa jatuh ke rel kereta dan dikhawatirkan bisa tersengat listrik bertegangan tinggi karena di samping rel kereta api ada peringatan: Awas Listrik Tegangan Tinggi,” tandasnya.

Hal itu, lanjut dia, berbeda dengan di Jepang. “Saat saya berada di sana, batas penumpang menunggu dengan rel kereta api terdapat pagar pelindung agar penunggu kereta api lebih aman dan tidak terjatuh ke rel kereta yang sangat membahayakan masyarakat calon pengguna kereta api,” kata BHS.

Alumnus ITS itu berharap kereta LRT Palembang yang sudah beroperasi lebih dari tiga  tahun bisa betul-betul dimanfaatkan oleh masyarakat Palembang. “Dan ini adalah tugas dari Kementerian Perhubungan RI bersama Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan untuk mengusahakan lebih keras lagi agar kereta LRT tersebut betul betul dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, sehingga Subsidi APBN tidak secara terus-menerus digelontorkan untuk operasional LRT,” katanya. 

“Apalagi nantinya harus dibebani dengan kewajiban pengembalian utang investasi yang sangat besar saat Grece Period habis, maka beban pengelola LRT akan semakin berat dan lagi-lagi rakyat seluruh Indonesia menjadi korban untuk mensubsidi biaya operasional kereta api tersebut,” ucap BHS.

Pengamat kebijakan publik itu juga berharap Kemenhub bisa mendorong pengelola LRT agar melengkapi keselamatan untuk penumpang, terutama pagar pembatas yang sampai saat ini belum ada. Selain itu, juga mengembalikan semua fasilitas kenyamanan lift dan eskalor yang rusak serta melengkapi konektifitas angkutan darat lanjutan secara cukup agar bisa digunakan masyarakat secara maksimal.

“Dan Kementerian Perhubungan yang membangun LRT harus mempunyai target biaya operasional LRT bisa diselesaikan sendiri oleh pengelola yang tidak menggantungkan subsidi rakyat seluruh Indonesia lagi,” kata BHS.