Kata Pengamat soal Penyebab Pelabuhan Patimban belum Beroperasi Maksimal
- Viva Jatim/M Dofir
Surabaya, VIVA Jatim – Pelabuhan Patimban yang terletak di Kabupaten, Jawa Barat belum beroperasi secara maksimal. Salah satunya disebabkan oleh fasilitas pelabuhan yang belum memiliki crane bongkar muat kontainer. Selain itu juga letak geografisnya jauh dengan kawasan industri.
Operasional pelabuhan yang tidak maksimal ini membuat para pelaku industri tidak ingin beralih dari Pelabuhan Tanjung Priuk ke Pelabuhan Patimban. Problem ini pun mendapatkan atensi dari seorang Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS).
Bila merujuk pada target yang disampaikan, menurut Bambang Haryo, harusnya tahun 2023 kemarin, Pelabuhan Petimban sudah bisa menerima 3,5 juta teus per tahun. Namun faktanya hingga kini justru belum bisa menerima kapal logistik pengangkut kontainer.
"Masalahnya adalah, pertama, Pelabuhan Patimban itu belum memiliki crane, yang digunakan untuk mengangkat peti kemas dari kapal ke dermaga penumpukan peti kemas di pelabuhan," kata Bambang Haryo, dalam keterangan tertulis yang diterima Viva Jatim, Senin, 9 Desember 2024.
Anggota DPR RI Komisi VII ini menambahkan, dengan biaya pembangunan Pelabuhan Patimban sebesar Rp43,22 triliun, seharusnya sudah memiliki fasilitas crane dengan segala kelengkapan operasional lainnya. Ia lantas membandingkan dengan Pelabuhan Kuala Tanjung Medan di Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT).
Pelabuhan tersebut, lanjut Bambang Haryo, dibangun hanya dengan nilai investasi sekitar Rp4 triliun saja. Akan tetapi saat ini sudah bisa menerima 80.000 teus per tahun, dengan target adalah 800.000 teus.
”Karena pelabuhan tersebut juga dilengkapi dengan crane yang memadai,” sambungnya.
Demikian juga Pelabuhan Makassar New Port, dibangun dengan biaya Rp 5.4 Trilliun, dengan kapasitas 2.5 juta teus per tahun, dan saat ini sudah menampung 257.981 Teus per tahun.
"Pelabuhan patimban dibangun dalam tiga tahap, tahap pertama di 2019 harusnya bisa menampung sekitar 350.000 Teus. Tahap kedua di tahun 2023, bisa menampung 3.75 juta Teus. Sedangkan target penyelesaian di Triwulan III 2024, bisa menampung 7.5 juta Teus, tetapi sampai dengan saat ini, tidak ada satu peti kemas (Teus) pun ada di pelabuhan tersebut, Ya karena crane nya belum ada. Lalu bagaimana kapal bisa memindahkan muatannya kalo tidak ada crane-nya?,” ungkapnya penuh tanya.
Ditambah pula, panjang dermaga Pelabuhan Patimban yang hanya 840 meter, tidak mencukupi untuk menampung kapal dengan target muatan 7,5 juta teus. Karena untuk menampung muatan 21.000 teus per hari, dibutuhkan panjang dermaga sekitar 4 kilometer.
"Kapasitas dermaga saja sudah tidak sesuai dengan target teus yang diinginkan," ujarnya tegas.
Masalah kedua, menurut Bambang Haryo adalah tidak terkoneksinya jalur logistik, antara kawasan industri dengan pelabuhan atau bandara. Jarak antara Kawasan Industri Subang Smartpolitan dengan Pelabuhan Patimban sekitar 50 kilometer dan dengan Pelabuhan Internasional Kertajati juga juga berjarak sekitar sekitar 50 kilometer.
"Kawasan industri itu dibangun kan untuk terintegrasi dengan Pelabuhan Patimban. Tapi ternyata, jaraknya 54,3 kilometer dengan Pelabuhan Patimban. Seharusnya, kalau kawasan industri yang dibangun untuk terintegrasi dengan pelabuhan, jaraknya tidak sejauh itu. Maksimal dalam radius 5-10 kilometer. Seperti Kuala Tanjung itu, jarak pelabuhan dengan industri kurang dari 2 kilometer. Sehingga, biaya logistiknya menjadi murah," tambahnya.
Legislator Gerindra ini menegaskan, skema pembangunan ini sudah salah sejak awal. Karena kawasan industri Subang dan Pelabuhan Patimban itu dibangun secara bersamaan untuk menurunkan traffic di Tanjung Priok dan menurunkan biaya logistik.
"Jadi pembangunan ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan arus logistik dari Bekasi, Karawang atau kawasan industri lainnya ke arah Tanjung Priok. Tapi kalau jarak dan fasilitas pelabuhannya tidak memenuhi ekspektasi pelaku industri, bagaimana bisa pelaku industri memindahkan jalur logistik hasil industrinya ke Patimban? Ini kan yang membuat harga logistik mahal. Jarak industri jauh dari pelabuhan," ungkapnya.
Problem ini, menurut Bambang Haryo, sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kajian pembangunan kawasan industri dan jalur transportasi ke depannya.
"Seharusnya kawasan industri ini sudah beroperasi. Pelabuhan juga sudah berjalan. Kalau belum beroperasi, artinya ada yang salah. Dan pemerintah harus secepatnya mengambil langkah yang dianggap penting, untuk membantu pengembangan industri kita, dalam rangka mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional," pungkasnya.