Ketika Ulama dan Akademisi Bahas Relevansi Fikih dengan Kemanusiaan Digital
- Istimewa
Topik relevan lainnya, lanjut Inung, berkenaan dengan pemasaran digital (bisnis online), anti-plagiarisme, penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam penyelesaian sengketa hukum Islam di pengadilan agama. Selain itu, katanya, dibahas juga peran lembaga keagamaan dalam melawan kekerasan dalam rumah tangga di era digital, memberdayakan kepala rumah tangga perempuan melalui konsep mubadalah dalam pemberdayaan ekonomi, dan menganalisis perspektif hukum Islam tentang kejahatan siber.
“Fikih harus berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer di era digital ini. Konsep keseimbangan antara hak dan kewajiban, menjaga kehormatan dan melindungi privasi di domain publik dalam wacana fikih perlu dikembangkan menjadi paradigma baru dari kemanusiaan digital,” paparnya.
Relevansi Fikih
Ajang kali ke-22 ini akan berlangsung di Surabaya, 2-5 Mei 2023. Acara ini juga akan membahas empat sesi pleno. Pertama, "Rethinking Fiqh for Non-violent Religious Practices”. Sesi tersebut akan dipimpin Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, GRAD.DIP.SEA, M.PIL, Ph.D dan akan melibatkan tiga pembicara: KH. Dr. (HC). Yahya Cholil Staquf dari Indonesia, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA dari Indonesia, dan Prof. Abdullahi Ahmed An Na'im dari Amerika Serikat.
“Sessi ini akan mengkaji ulang sejumlah konsep fikih klasik yang berkenaan dengan perang, hubungan antaragama, dan status minoritas. Hal itu perlu dilakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi agar Fikih selaras dengan perubahan yang mendukung masyarakat yang damai dan toleran,” tuturnya.
Kedua, "Recounting Fiqh for Religious Harmony." Sesi tersebut akan dipimpin oleh Dr. Muhammad Syairozi Dimyati Ilyas, Lc, MA. Ada empat pembicara, yaitu: Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary dari Universitas Al Azhar di Mesir, Muhammad Al Marakiby, Ph.D dari Mesir, Dr. Muhammad Nahe'i, MA dari Indonesia, dan Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim dari Malaysia.
“Sesi ini membahas sejumlah doktrin, fatwa, dan rumusan fikih yang dinilai berdampak pada hubungan antaragama. Misalnya, pembangunan rumah ibadah, ucapan hari raya keagamaan, perkawinan beda agama, dan pemurtadan. Ini penting dilakukan agar fikih tidak menjadi pembenaran bagi intoleransi beragama,” sebut Inung.