Tutus Setiawan, Pria Disabilitas Pemerhati Pendidikan Tunanetra

Tutus Setiawan, Peraih SATU Indonesia Award 2015
Sumber :
  • Youtube Radio Braille Surabaya

Surabaya, VIVA Jatim – Setiap warga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Negara pun menjamin hak tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun cita-cita luhur pendiri bangsa itu tak selalu berjalan mulus. Faktanya, tidak sedikit warga yang belum bisa mengakses pendidikan secara layak, termasuk kalangan penyandang disabilitas.

Belajar dari Kasus Agus Buntung, Psikolog Ungkap Ciri Orang Manipulatif

Realitas inilah yang mendorong Tutus Setiawan (43) turut andil memberikan pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. Keinginan luhur itu salah satunya didorong oleh kondisi pribadinya yang juga sebagai penyandang disabilitas tunanetra. Ia memiliki tekad dan jiwa yang besar untuk mengangkat derajat orang-orang yang senasib dengannya.

Melalui Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang didirikan 2003 silam, Setiawan bersama tim bergerak memberikan pendampingan agar mereka bisa sekolah reguler. Sebab, stigma negatif di kalangan masyarakat tentang tunanetra demikian miris. Meski sejatinya, mereka juga memiliki hak yang sama mendapatkan pendidikan.

Mengenal Desa Wisata Keris yang Dikenal Dunia, Kerisnya Mempunyai Pamor yang Diminati Kolektor

"Sejak tahun 2003 saya mendirikan LPT. Saya sangat prihatin banyak teman-teman tunanetra yang mengalami kesulitan ketika mau masuk ke sekolah reguler. Dari situ muncul keinginan dalam hati saya untuk menjadi guru pendidik mereka sehingga mereka berpeluang besar untuk bisa sekolah layaknya orang-orang normal pada umumnya," ungkapnya kepada Viva Jatim, Rabu, 13 September 2023.

Pria kelahiran Surabaya, 6 September 1980 itu mengaku bahwa tujuan didirikannya LPT itu tak lain adalah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para tunanetra agar juga memiliki daya saing unggul. Kemudian memberikan pelayanan aksesibilitas dan pendampingan bagi mereka yang mengalami diskriminasi sosial.

Ahmad Guntur Alfianto, Pemuda Asal Malang Gigih Lakukan Konseling Kesehatan Mental terhadap Anak

Bersama 4 orang lainnya, yakni Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi, Tutus berjuang meningkatkan kapasitas building para penyandang disabilitas tunanetra. Sehingga mampu mendobrak stigma negatif tersebut di kalangan masyarakat.

Alumni S2 Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya ini lantas menceritakan awal mula dirinya bergerak di misi kemanusiaan tersebut. Banyak tantangan dan kesulitan yang didahapi, termasuk menyadarkan khalayak bahwa penyandang tunanetra juga bisa berkontribusi besar untuk kemajuan bangsa dan negara.

Ia mengaku tidaklah mudah meyakini banyak pihak bahwa kaum disabilitas juga bisa berkontribusi besar. Ia pun bersama rekan-rekannya menggelar seminar, diskusi, dan berbagi gagasan dengan para pemangku kebijakan serta stakeholder agar bisa memberikan porsi yang sama di semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

"Banyak diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas tunanetra ini. Contohnya, pihak sekolah seringkali menolak mereka masuk dengan alasan tidak adanya alat-alat yang memadai dan sebagainya. Padahal mereka punya hak untuk menganyam pendidikan setinggi-tingginya," tambahnya.

Kini, Tutus Setiawan berporfesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tepatnya pendidik di sekolah khusus tunanetra bernama Yayasan Pendidikan Anak Buta (PAB). Selain itu, ia juga terus aktif mendidik dan mendamping penyandang tunanetra di luar jam-jam sekolah.

"Salah satunya di kegiatan-kegiatan insidentil. Misalnya memberikan pelatihan jurnalistik, agar mereka juga bisa menjadi seorang jurnalis yang kompeten. Mendampingi dan mengajari mereka dalam menyiapkan sebuah acara, dan sebagainya," jelasnya.

Bagi Tutus, mendidik anak-anak tunanetra memiliki keistimewaan tersendiri. Sebab dari situ ia tertantang untuk mengasah kreativitas menciptakan metode dan media pembelajaran yang tepat. Seperti alat-alat peraga timbul yang bisa diraba, serta memanfaatkan indra-indra lain yang masih berfungsi normal.

"Jadi kita gunakan alat-alat peraga tang sifatnya timbul untuk mengenalkan sesuatu. Kemudian juga memanfaatkan indra lain yang masih normal. Seperti pendengaran, rasa, dan sebagainya. Apalagi seiring kemajuan teknologi, proses pembelajaran semakin mudah dan tepat," paparnya.

Bahkan, Tutus Setiawan tak hanya melatih dan mengajari mereka dari aspek kognitifnya. Melainkan juga melatih skill atau keahlian. Hal itu dianggap penting agar bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada bantuan orang lain.

"Kita tidak hanya mengajari aspek kognitifnya ya. Melainkan juga ke arah skill sehingga mereka bisa hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada bantuan orang lain. Seperti bagaimana cara makan sendiri, bepergian sendiri dengan aman tanpa bantuan orang lain, dan seterusnya," ujarnya.

Sejauh ini, lanjut Setiawan, animo masyarakat terhadap kiprahnya dalam memberdayakan pendidikan tunanetra sangat tinggi. Sebab, dirinya memberikan pelayanan dan pendampingan secara gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun.

"Ini adalah bentuk bantuan dari kami. Sebab kami tidak bisa membantu mereka secara materi, tetapi paling tidak, kami bisa membantu mereka dalam hal pendidikan," terangnya.

Upaya yang dilakukan Tutus tidaklah sia-sia. Hal itu dibuktikan dengan kesungguhannya mendidik seorang siswa yang pernah meraih prestasi di ajang bergengsi. Adalah Alfian alumni SMA Negeri 8 Surabaya, yang dulu pernah meraih Juara II dalam ajang Global IT Challenge di Jakarta.

Kiprahnya dalam mengentaskan stigma negatif tentang penyandang tunanetra diapresiasi sejumlah pihak. Salah satunya, Tutus Setiawan meraih SATU Indonesia Award 2015 dari Astra.

"Saya tidak mendaftarkan tidak mengajukan. Tiba-tiba ada yang menghubungi saya, mewawancarai saya layaknya wartawan. Kemudian beberapa lama setelah itu saya dihubungi kembali untuk menerima anugerah SATU Indonesia Award 2015 lalu," tandasnya.