Menilik Pandai Besi di Mojokerto Warisan Mpu Supo yang Nyaris Punah
- M. Lutfi Hermansyah
Mojokerto, VIVA Jatim-Pandai besi di Trowulan, Mojokerto merupakan kerajinan warisan Mpu Supo. Namun, kian lama pandai besi tradisional nyaris punah.
Satu-satunya yang tersisa hanya di bengkel pandai besi milik Sulton (56), di Desa Jatisumber, Desa Watesumpak, Trowulan Mojokerto.
Denging suara besi nyaring di telinga saat VIVA Jatim berkunjung ke sana. Bantingan martil ke arah besi, menjadi pemicu munculnya suara. Tidak hanya sekali martil itu ditumbukkan ke besi yang telah dipanasi dalam tungku api sederhana. Namun, berkali-kali, hingga besi itupun menjadi pipih.
Sebuah bengkel pandai besi ini begitu sederhana. Atap dari asbes dan satu dinding dari gedek. Namun, keberadaannya sangatlah berharga. Karena di tempat inilah Sulton menghidupi anak istrinya.
“Saya mulai tahun 1971. Saya belajar dari ayah saya yang dulunya juga pandai besi, tapi pindah-pindah tempat-pandai besi kalau belajarnya,” katanya, Jumat, 10 Januari 2025.
Ia membuat pisau, sabit, bendo hingga cangkul. Profesi sebagai pandai besi ini sudah dilakoninya sejak masih sangat muda.
Menjadi pandai besi, memang menjadi pilihan hidupnya di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa. Walaupun dulu, dia bukan satu-satunya pandai besi di Dusun Jatisumber.
“Dulu satu dusun hampir semua pandai besi. Sekarang tinggal saya,” tandasnya.
Pada era 1970-an ke bawah, ada sekitar 53 orang yang menggantungkan hidupnya dari kerajinan besi. Mulai tahun 1990 ke atas, banyak yang beralih ke pembuatan patung.
“Anak-anak muda itu nggak mau belajar begini (pandai besi). Belajar ke patung semua, mungkin karena penghasilannya,” ujar Sulton.
Menurut dia, keahlian pandai besi di Dusun Jatisumber ini warisan leluhur. Sebab, di Desa Watesumpak dulu terdapat Mpu Supo. Mpu supo dipercaya sebagai pembuat keris kelas wahid pada era Kerajaan Majapahit. Itu dibuktikan dengan adannya petilasan Mpu Supo di belakang Balai Desa Watesumpak.
“(Keahlian pandai besi) Dari turun temurun, bapak saya dulu juga pandai besi, bukan saya yang mulai. Berdasarkan cerita, Mpu Supo dulu memang pandai besi. Lalu, mungkin ilmunya diwariskan ke masyarakat sini,” tuturnya.
Sehari-hari Sulton dibantu adiknya Suyopo dan keponakannya, Jumain untuk menyelesaikan pesanan. Mereka bekerja mulai pukul 08.00-14.00 WIB. Meski sudah tak lagi muda, Sulton terlihat masih bertenaga.
Prosesnya diawali dengan memotong bahan baku besi dan baja bekas, yang diperoleh dari pasar loak seharga Rp 11-12 ribu per kilogram. Setelah dipotong sesuai dengan ukuran, lempengan besi dan baja itu dibakar di tungku dan ditempa menggunakan palu gada.
Dalam sehari, mampu menyelesaikan 7-9 bilah pisau, sabit dan bendo. Terkadang ia juga menerima pesanan pembuatan cangkul.
Tidak hanya menerima pesanan perkakas saja, ia juga bisa mereparasi perkakas yang rusak atau patah milik para pelanggan.
Setiap karya dijual dengan harga bervariasi. Harga kepada perorangan lebih mahal dibanding pedagang. Kepada pedagang, sebilah bendo dipatok Rp 60-65 ribu, sabit Rp 70-75 ribu, pisau Rp 35-50 ribu. Sedangkan untuk perorangan, sebilah bendo Rp 100 ribu dan sabit Rp 90 ribu.
“Kalau cangkul macam-macam, cangkul biasa paling mahal Tp 150. Kalau cangkul buatan caroban sampai Rp 300 ribu,” terangnya.
Sulton memilih bertahan dengan menggunakan peralatan tradisional demi menjaga kualitas karyanya. Sebab, bila menggunakan peralatan modern hasilnya tidak awet.
“Lainnya (peralatan modern) dari segi bentuk memang sama, pembuatannya lebih cepat, cuma kualitasnya kalah. Terkadang cepet kropos,“ bebernya.
Sulton mengaku sudah waktunya pensiun. Tetapi, dirinya merasa tak enak menganggur. Bahkan, selepas pukul 14.00 WIB, ia masih melanjutkan aktivitasnya ke sawah.
Ia berencana mewariskan keterampilan menjadi pandai besi ke adiknya Supoyo dan keponakannya, Jumain. Keduanya telah mahir menghaluskan besi.
“Mungkin mereka berdua yang akan mewariskan. Mereka sudah saya ajari,” pungkasnya.