Tradisi Kupatan di Durenan Trenggalek Berjalan Sejak 2 Abad Silam
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
"Puasa Syawal lipat 10 kali, kalau 1 bulan (Ramadhan) berarti 10 bulan. Sedangkan 6 berlipat menjadi 2 bulan, berarti genap 1 tahun. Sementara, masyarakat umumnya di sini itu tidak ada yang berani bakdan (silaturrahmi lebaran) kesini sebelum hari kupatan," bebernya.
Selama enam hari berada di pendopo kadipaten, hingga waktunya tiba akhirnya diantar pulang ke rumah Kiai Mahyin. Kepulangan kakeknya, langsung masyarakat berduyun-duyun sowan ke Kiai Mahyin. Adat tersebut terus berjalan sampai beberapa puluh tahun.
Perihal awal mulai menyebar, Kiai Fattah mengungkapkan sekitar tahun 1950-an, saudara-saudara ayah atau saudara kandung atau misanan ikut-ikut membuka open house H+8. Banyak rumah berkisar antara 10 sampai 15 rumah.
Pasca ayahnya wafat pada 1982 sampai sekarang, Kiai Fattah lah yang meneruskan. Barulah mulai tahun 1990-an, masyarakat mulai ikut-ikutan juga. Karena kalau tidak open house dan menyediakan ketupat, kasihan orang yang berasal dari luar daerah.
"Baru masyarakat sekitar sini ikut kupatan sekitar tahun 1995 sudah melebar ke 2 sampai 3 desa. ada wartawan kesini yang tanya Pak Yai tidak tersinggung semua ikut-ikut. Tidak. Saya malah Terima kasih, berarti perjuangan mbah saya diterima di masyarakat," ujar kiai sepuh berusia 75 tahun ini.
Terpisah, salah satu warga Desa Durenan,
Mochamad Cholid Huda mengungkapkan, Tradisi Kupatan mulai ia rasakan sejak kecil. Baru menginjak usia SMP mulai ramai. Puncaknya saat dirinya di jenjang SMA. Pasalnya, teman-teman sekolah banyak yang berkunjung saat H+8, termasuk sanak family.