Ternyata Halal Bihalal Miliki Akar Historis dengan Walisongo

Ilustrasi Halal Bihalal
Sumber :
  • Istimewa

Jatim – Indonesia tak hanya kaya akan sumber daya alamnya, sederet tradisi dan budaya warisan para leluhur juga menjadi bagian tak terpisahkan dari Negeri Pertiwi ini. Salah satunya tradisi Halal Bihalal yang berlangsung sudah sejak lama dan menjadi identitas yang melekat di masyarakat. Biasanya dilaksanakan pascalebaran bersama keluarga, kolega maupun anggota komunitas tertentu. 

Antusiasme Ribuan Warga 'Nglencer Ning Pendopo' Kediri, Berebut Bertemu Mas Dhito

Tradisi yang satu ini tak dapat dipisahkan dengan sejarah bangsa Indonesia. Dimana Halal Bihalal merupakan gagasan seorang tokoh bangsa yang juga pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah atau Mbah Wahab. Tepatnya pada tahun 1948 saat Presiden Soekarno meminta solusi kepada Mbah Wahab bagaimana menyelesaikan konflik yang terjadi di elite politik pemerintahan. 

Kala itu, Mbah Wahab memberikan solusi untuk menggelar silaturrahmi. Ia meyakini hanya dengan bertatap muka atau silaturrahim segala masalah dapat diurai. Hanya saja istilah silaturrahim sudah banyak dikenal khalayak. Karena itu ia menggantinya dengan istilah baru, yakni Halal Bihalal.

Anies Sapa Relawannya di Surabaya, Titip Tetap Jaga Gagasan Perubahan

Dengan Halal Bihalal atau silaturrahmi itu, para pejabat pemerintah yang merupakan elite politik dapat berkumpul satu meja untuk saling memaafkan satu sama lain. Sehingga mereka tidak memiliki dosa atau sudah saling halal antara satu dengan yang lain. Gagasan Mbah Wahab ini rupanya mampu menyelesaikan masalah dengan sebuah keharmonisan dimana setiap kesalahan dapat dikompromikan atau dimaafkan. 

Memiliki Akar Historis dengan Walisongo

Halal Bihalal Keluarga Besar NBI Usai 11 Bulan Berkiprah

Secara historis, dilansir dari NU Online, ada tiga fase munculnya Halal Bihalal ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Fase pertama yakni fase dimana sebelum dipopulerkan oleh Mbah Wahab sebagai solusi dari kebingungan persoalan internal pemerintah yang kemudian dapat diselesaikan dengan saling memaafkan. 

Di fase pertama ini, berdasarkan manuskrip kuno Babad Cirebon, Demak, Pasai dan Jawa, kegiatan Halal Bihalal sudah terjadi pada abad ke-15, tepatnya pada masa Walisongp. Kala itu Walisongo memanfaatkan ritual Dharma Sunya bagi pemeluk Kapitayan. Setahun sekali mereka punya tradisi saling menghilangkan kesalahan satu sama lain.

Fase kedua, yakni pada abad ke-18. Diceritakan dalam Babad Cirebon, Raja Arya Mangkunegara I atau Raden Mas Said pendiri Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah mentradisikan sungkeman. Di sana para prajurit berkumpul di balai, kemudian sowan pada raja dan permaisuri yang dilakukan setelah Idul Fitri.

Kemudian fase ketiga yakni yang dipopulerkan KH Wahab Chasbullah. Hingga kini tradisi ini pun kian berkembang seiring dengan perubahan zaman. Sehingga muncul ragam istilah lain yang berbeda namun dengan maksud dan tujuan yang hampir sama. Seperti reunian atau temu kangen yang dilaksanakan pasca lebaran. 

Dengan demikian, Halal Bihalal tidaklah semata urusan keagamaan saja. Melainkan ada unsur sifat kemanusiaan yang harus dijaga dengan silaturrahim. Persoalan akut, benang kusut, pertentangan dan segala bentuk ketegangan akan mampu diurai dengan duduk bersama, saling memaafkan dan mencari titik temu di setiap perbedaan yang ada.