Hidup Harmonis dengan Alam: Kearifan Lokal yang Mulai Dilupakan

Ilustrasi olahraga.
Sumber :
  • Istimewa

Surabaya, VIVA Jatim – Di tengah derap pembangunan dan modernisasi yang kian pesat, manusia kini seolah semakin jauh dari alam. Beton menggantikan hutan, suara mesin menutupi nyanyian burung, dan sungai yang dulu jernih berubah menjadi tempat pembuangan limbah. Padahal, sejak dahulu, masyarakat Nusantara telah hidup selaras dengan alam lewat kearifan lokal yang kini mulai memudar.

Sarapan Sehat ala Nusantara: Pilihan Tradisional yang Kaya Nutrisi

Kearifan Lokal sebagai Panduan Hidup Ekologis

Kearifan lokal adalah pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Misalnya, masyarakat Baduy Dalam di Banten yang masih menjaga larangan menebang pohon sembarangan, atau tradisi Subak di Bali yang mengatur irigasi sawah secara adil dan berkelanjutan.

Dari Langgar ke Layar: Tantangan Dakwah Nahdliyyin di Era Digital

“Dalam falsafah hidup orang Baduy, alam bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dijaga karena manusia adalah bagian dari alam itu sendiri,” jelas antropolog Dr. Tania Li dalam sebuah wawancara tentang masyarakat adat di Indonesia.

Tradisi serupa juga ditemukan pada masyarakat Dayak di Kalimantan dengan sistem Tane’ Olen —hutan keramat yang tidak boleh ditebang sembarangan, bahkan oleh warga sendiri. Sistem ini merupakan bentuk kedaulatan komunitas dalam menjaga ekosistem secara turun-temurun.

Gaya Hidup Ramah Lingkungan: 10 Langkah Kecil yang Berdampak Besar

 

Sayangnya, arus globalisasi dan gaya hidup modern yang materialistik membuat banyak masyarakat mulai meninggalkan tradisi tersebut. Alih-alih merawat alam, manusia kini lebih sibuk mengeksploitasinya. Lahan-lahan adat diubah menjadi kebun sawit, tambang, atau properti. Anak-anak muda di desa pun lebih akrab dengan gadget daripada hutan di belakang rumah.

Menurut laporan WALHI (2023), lebih dari 500 ribu hektare hutan adat di Indonesia telah hilang dalam dua dekade terakhir. “Kita sedang mengalami krisis bukan hanya ekologi, tapi juga krisis identitas budaya,” ujar Nur Hidayati, mantan Direktur Eksekutif WALHI.

 

Ketika harmoni dengan alam terputus, bencana pun datang silih berganti. Banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan bukanlah semata-mata bencana alam, tetapi lebih tepat disebut sebagai bencana ekologis—akibat dari rusaknya relasi manusia dengan alam. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat bahwa intensitas bencana di Indonesia meningkat hingga 60% dalam 10 tahun terakhir, terutama di wilayah yang mengalami deforestasi dan urbanisasi masif.

 

Menjaga alam bukan tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab kolektif. Menghidupkan kembali kearifan lokal bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menciptakan cara hidup baru yang berakar pada nilai-nilai lama yang bijak. Misalnya, di beberapa daerah, sekolah mulai mengintegrasikan pelajaran tentang budaya lokal dan ekologi ke dalam kurikulum, seperti program Sekolah Adat di Papua dan Kalimantan.

Beberapa komunitas urban juga mulai menerapkan urban farming, eco-village dan program bank sampah—sebuah bentuk adaptasi nilai lama dalam konteks baru.

Hidup harmonis dengan alam bukanlah romantisme masa lalu. Ia adalah kebutuhan hari ini dan esok. Saat dunia dihadapkan pada krisis iklim dan kerusakan lingkungan, mungkin sudah saatnya kita kembali belajar dari leluhur: tentang bagaimana hidup secukupnya, menjaga keseimbangan, dan menghormati alam sebagaimana kita menghormati kehidupan itu sendiri.