Dari Langgar ke Layar: Tantangan Dakwah Nahdliyyin di Era Digital

Bendera NU saat acara Harlah Nahdlatul Ulama.
Sumber :
  • Nurcholis Anhari Lubis/Viva.co.id

Surabaya, VIVA Jatim – Selama puluhan tahun, langgar atau surau menjadi pusat aktivitas keagamaan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) di berbagai pelosok Nusantara. Di situlah umat belajar membaca al-Qur’an, mendengarkan pengajian kitab kuning, hingga mendalami adab dan akhlak dalam bingkai tradisi Ahlussunnah wal Jamaah.

Jangan Remehkan Kemandirian Ekonomi Pesantren

Namun memasuki abad ke-21, pola dakwah mengalami pergeseran besar. Dari ruang fisik bernama langgar, kini dakwah menuntut kehadiran di ruang virtual bernama layar.

Perubahan ini tidak dapat dihindari. Digitalisasi telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Di Indonesia, menurut data We Are Social (2024), lebih dari 220 juta penduduk telah terhubung ke internet, dan mayoritas mengaksesnya melalui ponsel pintar. Artinya, ruang dakwah hari ini bukan hanya masjid dan pesantren, tapi juga TikTok, Instagram, YouTube, dan podcast.

Sarapan Sehat ala Nusantara: Pilihan Tradisional yang Kaya Nutrisi

Lalu, bagaimana tantangan yang dihadapi kaum Nahdliyyin dalam mentransformasikan metode dakwah dari langgar ke layar?

Salah satu kekuatan NU adalah tradisi keilmuan yang bersumber dari sanad keilmuan para ulama klasik. Kiai-kiai NU terbiasa berdakwah melalui halaqah, pengajian kitab, atau ceramah lisan langsung yang sarat dengan rujukan fiqih, tasawuf, dan tafsir. Namun dalam dunia digital, pendekatan ini harus dikemas ulang agar tetap relevan dan bisa diterima oleh generasi digital native.

Kiai Ahmad Dahlan yang NU

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), KH. Afifuddin Muhajir, dan KH. Yahya Cholil Staquf adalah beberapa contoh tokoh NU yang mulai dikenal di media digital. Ceramah-ceramah mereka dipotong menjadi video pendek, diberi subtitle, dan disebarkan secara viral. Namun, tidak semua pesantren atau da’i NU mampu atau terbiasa dengan format ini.

Menurut Dr. Zainul Milal Bizawie, peneliti sejarah NU, dalam bukunya Masterpiece Islam Nusantara (2017), kekuatan Islam ala NU terletak pada keterikatannya dengan budaya lokal dan tradisi intelektual pesantren. Ketika masuk ke media digital, kedua hal itu harus diadaptasi tanpa kehilangan ruhnya.

Halaman Selanjutnya
img_title