Hidup Harmonis dengan Alam: Kearifan Lokal yang Mulai Dilupakan

Ilustrasi olahraga.
Sumber :
  • Istimewa

Surabaya, VIVA Jatim – Di tengah derap pembangunan dan modernisasi yang kian pesat, manusia kini seolah semakin jauh dari alam. Beton menggantikan hutan, suara mesin menutupi nyanyian burung, dan sungai yang dulu jernih berubah menjadi tempat pembuangan limbah. Padahal, sejak dahulu, masyarakat Nusantara telah hidup selaras dengan alam lewat kearifan lokal yang kini mulai memudar.

Gaya Hidup Ramah Lingkungan: 10 Langkah Kecil yang Berdampak Besar

Kearifan Lokal sebagai Panduan Hidup Ekologis

Kearifan lokal adalah pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Misalnya, masyarakat Baduy Dalam di Banten yang masih menjaga larangan menebang pohon sembarangan, atau tradisi Subak di Bali yang mengatur irigasi sawah secara adil dan berkelanjutan.

Harmoni Manusia dan Alam bakal Tersaji dalam Pentas Kolosal Harlah Ke-66 Pesantren Nasa

“Dalam falsafah hidup orang Baduy, alam bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dijaga karena manusia adalah bagian dari alam itu sendiri,” jelas antropolog Dr. Tania Li dalam sebuah wawancara tentang masyarakat adat di Indonesia.

Tradisi serupa juga ditemukan pada masyarakat Dayak di Kalimantan dengan sistem Tane’ Olen —hutan keramat yang tidak boleh ditebang sembarangan, bahkan oleh warga sendiri. Sistem ini merupakan bentuk kedaulatan komunitas dalam menjaga ekosistem secara turun-temurun.

Fikih Hijau Jadi Instrumen Teologis Negara Muslim Jawab Masalah Lingkungan

Sayangnya, arus globalisasi dan gaya hidup modern yang materialistik membuat banyak masyarakat mulai meninggalkan tradisi tersebut. Alih-alih merawat alam, manusia kini lebih sibuk mengeksploitasinya. Lahan-lahan adat diubah menjadi kebun sawit, tambang, atau properti. Anak-anak muda di desa pun lebih akrab dengan gadget daripada hutan di belakang rumah.

Menurut laporan WALHI (2023), lebih dari 500 ribu hektare hutan adat di Indonesia telah hilang dalam dua dekade terakhir. “Kita sedang mengalami krisis bukan hanya ekologi, tapi juga krisis identitas budaya,” ujar Nur Hidayati, mantan Direktur Eksekutif WALHI.

Halaman Selanjutnya
img_title