Hidup Harmonis dengan Alam: Kearifan Lokal yang Mulai Dilupakan
- Istimewa
Ketika harmoni dengan alam terputus, bencana pun datang silih berganti. Banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan bukanlah semata-mata bencana alam, tetapi lebih tepat disebut sebagai bencana ekologis—akibat dari rusaknya relasi manusia dengan alam. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat bahwa intensitas bencana di Indonesia meningkat hingga 60% dalam 10 tahun terakhir, terutama di wilayah yang mengalami deforestasi dan urbanisasi masif.
Menjaga alam bukan tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab kolektif. Menghidupkan kembali kearifan lokal bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menciptakan cara hidup baru yang berakar pada nilai-nilai lama yang bijak. Misalnya, di beberapa daerah, sekolah mulai mengintegrasikan pelajaran tentang budaya lokal dan ekologi ke dalam kurikulum, seperti program Sekolah Adat di Papua dan Kalimantan.
Beberapa komunitas urban juga mulai menerapkan urban farming, eco-village dan program bank sampah—sebuah bentuk adaptasi nilai lama dalam konteks baru.
Hidup harmonis dengan alam bukanlah romantisme masa lalu. Ia adalah kebutuhan hari ini dan esok. Saat dunia dihadapkan pada krisis iklim dan kerusakan lingkungan, mungkin sudah saatnya kita kembali belajar dari leluhur: tentang bagaimana hidup secukupnya, menjaga keseimbangan, dan menghormati alam sebagaimana kita menghormati kehidupan itu sendiri.