Mengubah Stigma Kondom Jadi Positif ala Psikolog
- Madchan Jazuli/Viva Jatim
Jatim – Alat kontrasepsi satu ini masih tabu di kalangan masyarakat awam. Tidak lain diduga karena kurangnya edukasi dan sosialisasi yang membuat kondom masih dianggap barang tabu bagi masyarakat.
Millenial pun yang sudah menikah ketika ditanya soal kondom juga menyebut kurangnya pengetahuan dan literasi pranikah dari lembaga terkait. Contohnya Mawar (20 tahun), bukan nama sebenarnya. Dia mengungkapkan sebelum ijab kabul langsung menjalani rapak nikah (dihadirkan kedua mempelai oleh penghulu).
"Edukasi soal pranikah, pemakaian alat kontrasepsi, kondom, dan sebagainya tidak ada, Mas," ungkap Mawar pada Senin, 26 September 2022.
Ibu rumah tangga yang menikah 4 bulan lalu itu menambahkan, selama di bangku sekolah juga tidak ada edukasi seputar organ intim maupun bahaya seks bebas. Mulai dari dampak penyakit yang ditimbulkan hingga psikologis yang diterima.
Menurutnya, kesan pertama kali dengan kondom adalah aneh. Karena bentuknya seperti balon yang bisa digunakan sebagai alat kontrasepsi mengatur kehamilan. Selama ini, dirinya malu untuk membeli langsung ke apotek atau ritel modern yang beredar. Ia memilih membeli melalui online.
"Kalau membeli langsung masih malu. Sebab orang yang tahu pikirannya pasti rusuh. Karena membeli kondom di marketplace itu privasi, kita aman," tutup Mawar.
Terpisah, salah satu lulusan S3 Psikologi UGM, Mohammad Mahpur, menjelaskan ada beberapa tips mengubah stigma negatif di masyarakat. Pertama, dengan cara menumbuhkan pengetahuan, yakni memperbanyak informasi-informasi yang bisa terserap oleh masyarakat.
"Informasi baik dalam proses penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi dan mungkin informasi berbentuk booklet," terang Mahpur.
Kedua, tips yang bisa dilakukan adalah lebih sering mengenalkan langsung alat kontrasepsi tersebut. Ketika sering disebut dalam entitas masyarakat, secara tidak langsung kondom menjadi hal positif serta masyatakat semakin tidak asing.
Ketika itu diasingkan dari realitas, Mahpur menyebut nanti akan menjadi tabu. Karena dalam sudut pandang kesehatan reproduksi atau dalam penggunaan kontrasepsi, kondom merupakan bagian dari alat yang rekomended untuk mengatur jumlah kelahiran.
"Nah itu juga bisa digunakan supaya masyarakat tidak sungkan atau tidak tabu. Menjadi bagian dari informasi yang boleh disampaikan dalam sebuah keluarga atau pasangan menikah. Bisa disosialisasikan bahkan mungkin bentuk-bentuknya itu bisanya peraga penyuluhan ditunjukkan mereka semakin tahu," ulasnya.
Disinggung soal tabu tidaknya kondom, pria yang juga dosen Fakultas Psikolog UIN Malang ini mengatakan bahwa hal itu tergantung dari keterbukaan masyarakat terhadap diskusi. Selanjutnya, pembahasan terkait dengan kesehatan reproduksi, kesehatan seksualitas, bagi mereka yang sedang membahas atau berdiskusi terkait berbagai hal tentang kontrasepsi akan tidak tabu.
Konteks pembicaraan alat kontrasepsi perlu diukur dari perkembangan seseorang. Bagi orang-orang dewasa, Mahpur menjelaskan sudah sering disampaikan di dalam pelajaran, berbagai kegiatan pendidikan. Terutama, mahasiswa atau dewasa awal, mereka sebenarnya harus tahu bahwa kondom yang fungsinya dalam proses kesehatan reproduksi.
Hal itulah yang menjadi salah satu bahan penting, semakin banyak dibicarakan semakin orang punya akses terhadap pengetahuan tentang kondom. Sehingga pemikiran masyarakat semakin terbuka dan tercerahkan.
"Karena orang awam selalu membuat presepsi dengan sterotip atau pelabelan bahwa kondom itu identik dengan seks bebas. Identik dengan pembicaraan tabu dengan seksual yang konotasi negatif," ulasnya.
Namun, kata dia, ketika masyarakat tidak mengetahui pengetahuan yang betul, maka hanya bermain presepsi-presepsi. Sehingga tidak menumbuhkan pengetahuan tetapi menumbuhkan stigmatisasi yang negatif.
Pengetahuan yang cukup terhadap pengetahuan, dan literasi kebutuhan alat kontrasepsi perlu menjadi kesadaran bagi setiap pasangan. Sebab, masyarakat bisa menentukan pilihan kontrasepsi yang tepat apakah dari suami maupun istri.
Pria yang juga penasehat Gusdurian Malang menambahkan ketika masyarakat bisa mendiskusikan, maka konotasi konotasi negatif tidak ada. Konotasi negatif karena hoaks budaya kultur disekitarnya, tidak diimbangi oleh informasi atau pengetahuan yang terus bertambah.
"Sehingga masyarakat semakin aware dengan menerima bagian dari kepentingan semua, terutama yang sudah menikah," tandasnya.