Kenali Gejala Dating Violence sejak Awal Pacaran

Doktor Soerjantini, Psikolog
Sumber :
  • Mukhammad Dhofir /Viva Jatim

Surabaya, Viva Jatim - Kekerasan dalam berpacaran dikenal sebagai dating violence. Dimana akhir-akhir ini, kasus tersebut marak terjadi sehingga menjadi perhatian serius masyarakat.

Memahami 5 Tahapan Terjadinya Kesedihan dalam Hidup menurut Psikologi

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), Doktor Soerjantini Rahaju menjelaskan faktor timbulnya dating violence serta dampaknya. Ia mengatakan, tanda awal seseorang melakukan dating violence lebih bersifat subjektif.

Hal itu dilihat dari caranya mengelola emosi. Apabila seseorang cenderung berlaku kasar, bertindak semena-mena, sering lepas kontrol ketika sedang marah hingga menjadikan pasangan objek pelampiasan kemarahan. Maka sifat seperti itu mengarah ke dating violence.

Pelaku Begal Wanita Asal Surabaya Ditangkap, Motif Masih Didalami Polisi

"Kalau dalam relasi seseorang sudah berlaku kasar, maka pasangannya harus berpikir bahwa itu merupakan bibit dari kekerasan. Perlakuan yang bisa diperhatikan seperti pasangan sudah bertindak semena-mena, jika marah sering lepas kendali, tidak menghargai, sering mengekang, dan menjadikan pasangannya samsak peluapan emosi. Hal-hal ini perlu diwaspadai," ujarnya, Sabtu 14 Oktober 2023.

Namun anehnya, meski pasangan sering menerima perlakuan kasar, keduanya terkadang masih betah menjalin hubungan. Dosen Psikologi Klinis itupun menyebut hal itu karena faktor pengalaman kekerasan di masa lalu.

Perempuan Asal Surabaya Dibegal, Honda Brio yang Dikendarai Raib Digondol Maling

Kebanyakan, pelaku sering terpapar adegan kekerasan di rumah dan menganggap kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah. Ditambah, pelaku juga menghayati adanya ketidasetaraan gender.

Sedangkan, alasan korban tetap mempertahankan hubungan adalah karena adanya kebutuhan yang berlebihan terhadap kasih sayang.

"Di masa lalu, korban bisa jadi mengalami kekerasan emosional berupa pengabaian dan tidak diperhatikan. Sehingga, dia butuh sosok yang bisa memenuhi itu, yaitu pasangannya," lanjut Soerjantini.

Ia menambahkan, tindak kekerasan dalam dating violence mengikuti siklus yang berputar dan berkelanjutan. Setelah pelaku melakukan kekerasan, biasanya akan memperlakukan pasangannya dengan sangat baik.

Hal ini yang disebut dengan fase honeymoon. Tindakan ini membuat korban memiliki optimisme bahwa sang pasangan masih bisa berubah. Inilah yang membuat mengapa banyak pasangan tidak melaporkan adanya kekerasan, sehingga fenomenanya seperti gunung es. Pasangan yang menjalani dating violence dalam waktu yang lama akan berdampak pada kondisi psikologis.

"Seseorang akan kehilangan self esteem atau penilaian terhadap diri sendiri, tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial, merasa rendah diri dan cenderung menyendiri bersama pasangannya. Bahkan pada tahap ekstrem bisa depresi dan bunuh diri," imbuhnya.

Selain itu, seseorang yang mengalami kekerasan fisik saat berpacaran dapat menimbulkan luka fisik bahkan cacat. Untuk itu, Soerjantini menghimbau masyarakat dapat memberikan psikoedukasi apabila melihat ada kerabat yang mengalami dating violence.

"Bagi yang sedang mengalami, solusi yang dapat dilakukan adalah mengakhiri hubungan tersebut selagi belum lanjut ke pernikahan. Dalam proses tersebut, dapat memperluas diri untuk mempunyai support system yang dapat membantu," pungkasnya.