YLPK Jatim Siap Lakukan Pengujian soal Isu Bahan Berbahaya Asbes
- Istimewa
Surabaya, VIVA Jatim – Belakangan ini beredar isu miring soal bahan berbahaya pada penggunaan asbes. Bahan tersebut dikabarkan bisa menyebabkan penyakit asbestosis. Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur pun langsung gerak cepat menyikapi hal tersebut.
YLPK Jatim melakukan pertemuan bersama pelaku usaha asbes yang tergabung dalam Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA). Pertemuan itu berlangsung di ruang meeting Graha Pasific Jl. Jendral Basuki Rachmat No. 87-91 Surabaya, 15 November 2024 lalu.
Hadir dalam pertemuan tersebut, Executive Director FICMA, Jisman Hutasoit, Ahli Kesehatan Masyarakat sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, M.Sc., dan perwakilan pabrikan asbes yang berada di Jawa Timur.
Executive Director FICMA Jisman Hutasoit mengatakan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjadi bukti bahwa para pelaku usaha yang tergabung dalam FICMA mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya.
“Bahwa produk fiber cement yang terdapat kandungan asbes putih (chrysotile) tidak berbahaya karena penggunaan serat asbes putih (chrysotile) dalam produk atap bangunan hanya berkisar 7-8%, kertas 5%, dan semen sebesar 87-88%,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Viva Jatim, Senin, 2 Desember 2024.
Kemudian Guru Besar UI Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, M.Sc., memberikan penjelasan mengenai penggunaan asbes putih (chrysotile) bahwa Asbes adalah kelompok serat mineral silikat dari magnesium dan logam besi, yang terdapat di alam dalam bentuk serat yang diperoleh dari tambang.
Menurutnya, diperkirakan asbestos telah digunakan sejak tahun 2.500 SM di Finlandia untuk membuat pot-pot yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan penggunaan asbestos di dalam industri baru dimulai sekitar tahun 1880 dengan sumber deposit di Quebec (Kanada), Afrika Selatan dan Pegunungan Ural (Rusia).
“Terdapat dua famili asbes, yaitu serpentine dan amphibole. Asbes serpentine hanya terdiri dari satu spesies, yaitu chrysotile,” ujarnya.
Sementara, asbes amphibole terdiri dari lima spesies, yaitu crocidolite, amosite, anthrophyllite, actinolite, and thermolite. Penggunaan asbes biru (crocidolite) sudah dilarang sejak tahun 1985, dan hanya asbes putih (chrysotile) yang diijinkan untuk dipergunakan/ diperdagangkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Sifat-sifat umum asbes yaitu mudah dipintal, tahan panas, tahan listrik, mempunyai daya regang tinggi, resisten terhadap zat kimia dan tahan terhadap gesekan, untuk kegunaannya sendiri asbes putih (chrysotile) sebagai reinforcing agent (bahan penguat) dalam industri fiber-cement (Pipa, atap, langit-langit), penghambat api (fire retardant) dalam produk tekstil dan kertas, bahan pembuatan rem (brakes) & clutch lining (kopling) dalam industri otomotif, bahan pengikat (cohesive agent) untuk permukaan aspal jalan, filler (bahan pengisi) dalam resin, plastik, dempul & sealant, bahan resisten terhadap asam & alkali dalam baterai, acid pumps, valve & gasket, material penyaring dalam industri kimia, makanan dan minuman, pembuatan pakaian tahan api (untuk Dinas Pemadam Kebakaran), dan insulasi pada kapal dan bangunan gedung.
“Nilai ekonomis dalam bisnis chrysotile di Indonesia, total impor tahun 2022 sebanyak 103.747 ton, yang memiliki keuntungan diantaranya harga terjangkau, bahan ringan, mudah dipasang, dan mudah dibawa,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Ketua YLPK Jatim, Drs. Muhammad Said Sutomo menjelaskan bahwa sebagaimana dalam konsiderans Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) huruf b pelaku usaha merupakan pembangun perekonomian nasional pada era globalisasi, karena mendukung tumbuh kembangnya dunia usaha. Sehingga menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang saling simetris yaitu terdapat pada Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b yang menyatakan hak konsumen ialah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa di sisi lain Pasal 7 huruf b mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu YLPK Jatim menginginkan agar ada pengujian terhadap kandungan di udara apakah terkontaminasi dengan paparan asbes pada saat pemasangan, penggunaan dan pembongkaran.
Namun YLPK Jatim ditantang balik oleh Guru Besar UI Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, M.Sc., agar juga melakukan eksperimental dengan cara menghancurkan produk fiber cement berbahan asbes di dalam ruangan kemudian udara yang berada di dalam ruangan kita uji kaji apakah udara tersebut terkontaminasi asbes putih (chrysotile) sebagaimana framing pemberitaan penyebab penyakit asbestosis.
Untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), YLPK Jatim menyanggupi eksperimental tersebut sehingga masyarakat konsumen tidak merasa disesatkan terhadap adanya framing pemberitaan isu-isu produk bahan jadi berbahan asbes putih (chrysotile) menyebabkan asbestosis.