PMII Jatim Tolak Revisi UU TNI: Kebangkitan Dwifungsi Militer Jadi Ancaman Demokrasi

Ketua Umum PKC PMII Jawa Timur, Baijuri
Sumber :
  • Ibnu Abbas/Viva Jatim

Surabaya, VIVA Jatim – Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur menolak tegas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dibahas secara tertutup oleh DPR bersama pemerintah.

Mala Agatha Buat Video Sinematik saat Datangi Polres Blitar, Tuai Cibiran Nerizen

Ketua PKC PMII Jatim, Baijuri, menilai revisi ini berpotensi melegitimasi praktik dwifungsi militer ala Orde Baru dan mengancam masa depan demokrasi Indonesia.

Revisi UU TNI ini bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya memastikan TNI sebagai tentara profesional, bukan kembali ke peran sosial-politik dan ekonomi seperti masa lalu,” tegas Baijuri dalam keterangannya pada  Minggu Sore (16/03).

Gubernur Jatim Dukung Pengusulan KH M Yusuf Hasyim sebagai Pahlawan Nasional

Penolakan ini didasarkan pada kajian mendalam PMII Jatim yang menyoroti tiga poin kritis dalam draft revisi.

Pertama, perpanjangan masa pensiun perwira TNI hingga 62 tahun dinilai akan memperparah penumpukan perwira non-job dan praktik penempatan ilegal di lembaga sipil.

Berkat Pengembangan Bisnis Emas dan Haji, BSI Region VIII Surabaya Catat Kinerja Positif

Baijuri mengutip data Ombudsman 2020 yang menemukan 564 komisaris BUMN diduga rangkap jabatan, termasuk 27 perwira TNI aktif. 

“Contoh terbaru, Mayjen Novi Helmy Prasetya diangkat sebagai Dirut Bulog. Ini melanggar UU No. 34/2004,” ujarnya.

Kedua, perluasan jabatan sipil untuk perwira aktif di 15 instansi, termasuk Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, diatur dalam Pasal 47 draft revisi. 

“Ini menggerus supremasi sipil dan independensi peradilan. TNI harus fokus pada pertahanan, bukan menguasai lembaga strategis,” kritik Baijuri.

Ketiga, intervensi militer dalam politik keamanan negara melalui pengisian posisi di Kementerian Koordinator Polhukam. 

“Ini pintu masuk dwifungsi ABRI baru. TNI bisa intervensi politik dengan dalih keamanan, persis seperti Orde Baru,” tegasnya. 

Padahal, TAP MPR No. VII/2000 menegaskan netralitas TNI dalam politik.

Selain itu, PMII Jatim menganggap bahwa dengan adanya UU TNI nantinya, anggota yang melanggar HAM dan kasus korupsi akan diadili di pengadilan militer, bukan pengadilan umum.

“Kasus pelanggaran HAM atau korupsi oleh TNI akan diadili di peradilan militer yang tertutup, bukan pengadilan umum. Ini ancaman bagi negara hukum,” jelas Baijuri.

Ia juga memperingatkan eskalasi pelanggaran HAM jika revisi disahkan. 

“Keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembahasan UU ini harus diutamakan. Jangan sampai Indonesia kembali ke rezim otoriter,” serunya.

PMII Jatim mendesak DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan tertutup serta melibatkan masyarakat dalam proses revisi. 

“Kami akan bergerak bersama elemen sipil lain untuk menolak revisi yang merusak demokrasi ini,” pungkas Baijuri.