Mantan Direktur Politeknik Negeri Malang Jadi Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Kampus
- Viva Jatim/M Dhofir
Surabaya, VIVA Jatim – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) mengungkap kasus pengadaan tanah kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema). Dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni mantan Direktur Polinema berinisial AS dan HS selaku penjual tanah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Windhu Sugiarto mengatakan, keduanya jadi tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan bernomor Print-99/M.5/Fd.2/01/2025 dan Print-848/M.5/Fd.2/06/2025, yang dikeluarkan pada 3 Januari 2025 serta 11 Juni 2025.
"Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema yang terjadi pada tahun anggaran 2019 hingga 2020," ucap Windhu, Rabu, 11 Juni 2025.
Ia menyampaikan, AS dan HS diduga secara sah melawan hukum dalam pengadaan tanah untuk perluasan kampus karena tidak melibatkan panitia resmi. Selain itu, saat menentukan harga tanah juga dikerjakan secara sepihak oleh AS tanpa melibatkan jasa appraisal.
"Pengadaan tanah dilakukan tanpa melibatkan panitia resmi yang dibentuk. Penentuan harga tanah tidak berdasarkan penilaian jasa appraisal, melainkan berdasarkan penilaian pribadi AS," lanjut dia.
Dalam pengadaan ini, Direktur Polinema periode 2017 - 2021 tersebut menghargai tanah Rp6 juta per meter dengan luas mencapai 7.104 meter persegi. Sehingga jika ditotal, nilai pembelian mencapai Rp42,624 miliar.
Padahal, dua dari tiga bidang lahan tersebut belum bersertifikat dan tidak disertai bukti surat kuasa dari pemilik lahan untuk dijual.
Windhu menambahkan, proses pembayaran uang muka juga diduga berlangsung serampangan. Dokumen dibuat secara backdate atau tanggal mundur, tanpa notulen rapat bahkan tidak menyertakan akta jual beli sekalipun.
"Dari total harga pembelian, uang muka sebesar Rp3,87 miliar dibayarkan pada 30 Desember 2020 menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate, termasuk surat keputusan panitia, notulen rapat, hingga akta jual beli," tandasnya.
Meski demikian, proses pembayaran terus dilanjutkan AS secara bertahap hingga mencapai Rp22,6 miliar, namun pelaksanaannya tetap tidak disertai proses akuisisi aset atau pencatatan hak atas tanah oleh Polinema.
Windhu menyebut, sebagian besar lahan yang diperjualbelikan juga masuk dalam zona ruang manfaat jalan dan badan air serta berbatasan langsung dengan sempadan sungai, sehingga tak laik untuk pembangunan kampus.
Berdasar pelanggaran yang dilakukan keduanya, Kejati Jatim kata Windhu, menahannya dan menjerat dengan Pasal 2 junto Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider Pasal 3 junto Pasal 18 UU yang sama junto Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
"Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar," tutup Windhu.